Sunday, December 6, 2020

384 ㅡ ♕ Pilu membiru.

Semalam langit bernyanyi merdu, pertanda ada yang merindu.

Aku termangu di dalam kamar sempit yang aku jadikan ruangan ternyaman di dalam bangunan ini tatkala Sang Langit bersenandung merdu. Langit bernyanyi begitu kencang hingga duniaku ikut berguncang. Mendengar gemuruh yang gaduh, aku tidak ragu lagi untuk ikut menyuarakan isi kalbu. Tangisan sebagai buah dari perpisahan kukeluarkan bagai nyanyian.

Aku tidak lagi bersama dengan dia. Bukan karena aku ingin menyerah, tetapi keadaan mendukung untuk berserah. Oleh karena itu, pasir yang berada dalam genggaman tangan, aku lepas hingga tidak tersisa sedikit pun. Ini tidak baik bagi hati, sebab akan ada luka yang tak bisa terobati. Namun, kali ini aku putuskan, bahwa aku tidak ingin lagi menyakiti. Aku berharap bisa berhenti melukai.

Terkadang aku merasa dunia ini tidak adil. Ketika ada dua insan yang pandai mempertahankan segalanya yang mereka miliki, maka angin berhembus seakan tidak memberi restu. Mengapa dua insan yang sudah memiliki harapan akan masa depan harus dimusnahkan keadaan? Ketika dua insan bertemu dengan maksud ingin bersatu hingga akhirnya bisa mengucap janji untuk selamanya, mengapa harus ada perisai yang membuat cinta yang murni tak lagi berarti?

Apakah terulang lagi? Lagi-lagi ini adalah mimpi yang aku buat nyata. Lagi-lagi aku dipermainkan semesta. Sampai kapan luka yang selalu singgah? Kapan cinta yang tak mengundang air mata tinggal untuk selamanya? Mungkin di saat aku sudah selesai belajar semua tentang perjuangan. Mungkin di saat pelajaran hidup sudah aku ambil semua. Mungkin di saat aku sudah lebih dewasa. Mungkin di saat aku sudah mencintai dengan benar. Mungkin di saat aku tidak lagi punya harapan. Di situ akan ada titik terang yang menuntun aku menuju kebahagiaan.

Kali ini sungguh aku pikir akan bersama selamanya. Ternyata kekuatanku hanya sebatas ini. Aku tidak sekuat itu untuk pertahankan milikku di hadapan banyaknya selera dan nilai yang ada di dunia. Aku belum kuat untuk berdiri sendiri. Aku menyerah pada keadaan yang memaksaku untuk melepaskan segalanya. Memang aku yang terlalu lemah. Memang aku yang terlalu mudah dipermainkan oleh semesta.

Meski begitu, aku bersyukur Tuhan pertemukan aku dengan dia yang menghujani aku dengan cinta. Aku bersyukur kami pernah bertemu dan sempat mengukir kisah bahagia yang akan aku ingat selamanya. Aku tidak akan pernah melupakan satu momen pun. Semuanya akan aku kenang dalam memori yang kusimpan rapih dalam hati karena dia sudah mengajarkan aku, bahwa cinta itu sabar, cinta itu penuh, cinta itu sederhana, cinta itu tidak hanya tawa tapi juga air mata, cinta itu berawal dari tatap yang akhirnya jatuh ke hati, cinta itu menemukan keselerasan, cinta itu menerima, dan cinta itu memberi dengan sepenuh hati.

Aku belajar untuk menjadi seseorang yang lebih baik lagi. Aku sadar, aku masih perlu banyak belajar. Aku masih belum mampu untuk mempertahankan segalanya. Aku masih belum siap untuk merasa hidup. Aku mudah terombang-ambing. Oleh karena itu, aku tidak pantas berdiri di sampingnya. Aku tidak bisa penuhi keinginannya. Maka aku akan berhenti sejenak dan menutup telinga. Aku tak akan mendengar kebisingan dunia yang memekakkan telinga. Aku tak akan lagi mengucap kata cinta hingga waktu menyembuhkan semua luka yang ada. Aku tak akan lagi berharap lebih dari orang-orang yang hadir ke dalam hidupku. Kali ini, aku pastikan aku akan berjalan sendirian. Biar aku menata ulang kehidupanku. Biar aku bangun benteng untuk menjaga hatiku. Aku pastikan tak akan ada yang bisa runtuhkan benteng itu.

Aku tidak lagi berani untuk mulai mencintai. Entah sudah berapa kali aku katakan ini. Aku sampai tidak bisa berhitung lagi. Sudah berulang kali aku katakan, bahwa aku tidak akan berani untuk maju ke depan dan berharap aku bisa dapatkan cinta yang sesungguhnya. Sebelumnya, aku dijadikan pilihan kedua. Kali ini aku dicintai dengan benar, tetapi semesta membuatku hanya bisa menatap nanar. Aku kehilangan akal hingga akhirnya memutuskan untuk diam di tempat. Iya, aku akan mengunci diri. Aku akan membenahi hati hingga suatu hari nanti siap untuk mulai lagi. Hanya waktu yang tahu kapan aku akan mulai membuka pintu untuk sekadar bertemu dengan mereka yang ingin bertamu.

Maafkan aku yang lemah. Maafkan aku yang selalu saja menyerah. Maafkan aku yang lagi-lagi kalah dari semesta. Permainan ini sungguh memilukan, tetapi aku yakin ada ujung yang bahagia. Walau bukan sekarang, mungkin suatu hari nanti. Suatu hari nanti ketika matahari bersinar tidak untuk semua orang. Suatu hari nanti ketika bulan datang tidak untuk menggantikan matahari. Suatu hari nanti ketika bintang tidak lagi sembunyi di balik gumpalan awan yang menutupi cahayanya. Mungkin saat itu aku yakin aku bisa bersinar paling terang. Aku yakin hari itu akan tiba, tetapi tidak dalam waktu dekat ini. Aku tidak akan menyerah pada kebahagiaan yang ada di ujung kehidupanku. Aku tidak akan berhenti mencari, tetapi sekarang biarkan aku istirahat sejenak untuk mengisi energi. Biarkan aku menyalahkan diri supaya kelak kuat berdiri lagi.

Malam ini hatiku pilu membiru, dan butuh waktu untuk membuatnya kembali menyatu.