Tuesday, October 1, 2019

311 ㅡ ♕ Aku berdamai denganmu, diriku.

“Aku ingin menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup, maka aku mencoba mengenal diriku lebih dalam dan pada akhirnya, aku berdamai dengan hatiku.”

Aku terjebak di antara mereka yang bersikukuh membuatku mengambil jalan yang tak kuyakini. Kedua kaki jenjangku melangkah dengan berat setiap mentari membangunkanku dari indahnya sebuah mimpi yang nyaman kutinggali. Setiap embusan napas membawa terbang sebuah harapan akan datangnya titik terang yang menuntunku untuk bertahan. Tangis air mata seringnya menjadi hadiah bagi diri yang terjaga dalam kesepian malam saat mereka terpejam.

Aku tak berdaya, namun apa daya tak mampu bersuara.
Aku tak ingin, namun apa mungkin aku berani musnahkan seluruh harapan.
Pernah terpikirkan untuk berhenti, namun tak pandai aku menyakiti.
Pernah terbayangkan untuk berlari, namun tak mampu aku berdiri sendiri.

Banyak hal membuat titik air menetes. Banyak hal membuat isak tangis menemani malam. Banyak hal terjadi tanpa permisi. Ingin bersuara, tetapi lidah kelu. Ingin biarkan hati bicara, tetapi hanya air mata bantu ungkapkan rasa. Ingin merangkai kata, tetapi benak tak mampu genggam erat sebuah pena.

Terjebak dalam pikiran akan ketakutan hilang dari ingatan, hati kesal tunjukkan ekspresi. Terjerat dalam emosi yang begitu membuat tubuh meringkuk, kedua sudut bibir mengarah ke bawah seakan melupakan cara tersenyum.

Jika diperbolehkan bicara, ingin sekali menegur bibir yang selalu membicarakan hal yang terlalu membuat hati ciut. Tidak terluka, hanya pedih tergores. Jika diperbolehkan ungkapkan rasa, ingin rasanya meminta sebuah perhatian tanpa adanya perbandingan. Tak memaksa, hanya berusaha menenangkan hati. Jika diperbolehkan menangis, ingin membuat mereka menatap pedihnya hati yang tergores, batin yang terluka, dan senyum yang pudar tanpa pernah tertangkap pandang. Tidak meminta belas kasih, hanya ingin sepasang mata masing-masing sadar akan suara hati yang menitikkan air mata.

Ketakutan merajalela diri akibat cemas tak mampu menggapai bintang yang sama. Akankah perlakuan berbeda diberikan? Keresahan membuat sepasang netra tak siap untuk bermimpi. Akankah takdir menuntun ke jalan yang berbeda?

Terlalu lelah untuk mendengar. Terlalu sakit untuk kembali diulang. Terlalu cemas untuk menatap masa depan. Terlalu rendah menatap diri.

Bermimpi saja sudah tak berani dilakukan. Masa depan tak tentu arah. Akan ke mana, akan pergi ke mana, akan sampai di mana, dan harus bagaimana. Banyak pertanyaan terlontar tanpa harapan akan menemukan jawaban, dan hanya keheningan malam yang menemani.

Kembali, rasa perih di dada tak mampu membuat diri berpikir jernih. Ingin terdiam seribu bahasa, namun kelopak mata tak ingin berteman. Air mata mengalir, meski dalam usaha membangun pertahanan diri untuk tegar. Ingin menyimpan saja, namun kotak hati sudah terlalu penuh dengan hal yang sama setiap waktunya. Jeritan hati membuat air terus mengalir membasahi kelopak mata.

Sudah terlalu lelah membiarkan. Sudah terlalu lama memendam. Sudah terlalu kesal meratapi. Sudah terlalu sakit untuk melangkah.

Tak ada waktu untuk membicarakan kehidupan, terutama milik seseorang yang tak pernah menggapai sesuatu yang cemerlang. Tak ada tempat untuk beristirahat, terutama bagi seseorang yang tak memiliki tujuan. Tak memiliki tujuan dan mimpi, ternyata lebih letih.

Aku terdiam, mengurung diri di kamar.

Aku berpikir, mengingat seluruh suka dan duka yang telah kulewati.

Sebuah perasaan nyaman yang dulu kurasakan saat bersenda gurau, bersama dengan waktu yang bergulir pun perlahan ikut melipir. Ke mana rasa itu pergi?

Sebuah perasaan aman yang dulu kurasakan saat berkumpul, bersama dengan titik air hujan yang jatuh pun perlahan sirna. Ke mana rasa itu sekarang?

Aku merasa hancur, babak belur karena ulahku sendiri.

Aku terlalu sering merasa rendah untuk bahkan menengadah memandang langit, merasa diri tak berhak memandang ratusan bintang yang bersinar terang dengan tegar meski gelapnya malam memeluk erat.

Selalu bertanya-tanya, “Apakah aku pantas bahagia?”

Selalu mengambil kesimpulan, “Aku tidak pantas dicintai.”

Lambat laun, aku merasa begitu buruk, dan dalam keterpurukan itu, aku membuka hati untuk mencari diriku yang tenggelam seorang diri, dan ternyata … aku menemukan bahwa aku tak sendiri. Aku menemukan mereka di sana.

Ternyata, selama ini, aku yang tak pernah membuka pintu, membuang semua kebahagiaan dan tenggelam dalam pikiranku sendiri.

Kenyamanan yang selama ini kurasa telah lenyap, ternyata selalu merengkuhku dalam diam.

Kebahagiaan yang selama ini kurasa hanya hadir dalam mimpi, ternyata memiliki bentuk nyata dalam hidup.

Aku hanya harus merasa puas dengan segala hal yang kulakukan tanpa pernah sekalipun putus asa. Aku, pantang menyerah.

Aku mencoba berdamai, dengan harapan pandanganku akan hidup dapat berubah karena benar adanya, mereka ada untukku. 

Harapan mereka, adalah harapanku. 

Kebahagiaan mereka, adalah kebahagiaanku. 

Aku, hanya perlu berdamai dengan diriku.

“Berdamai dengan diri sendiri sama saja seperti mencintai diri sendiri. Ingat, kita semua pantas bahagia.”