Wednesday, December 9, 2015

149 ㅡ ♕ Who hurts more, hmn?

When two people dated and broke up, can just one person be hurting? The person who couldn't tell anyone is already hurting by herself. The person who doesn't even know he's hurting will hurt later. The person who neglected the pain is hurting more.

But still, you should have told me.

Sunday, December 6, 2015

148 ㅡ ♕ Miracles could happen.

But now, i have this thought. Maybe it was me who decided that i was one of the supporting characters kind of thought. Giving up so easily by letting life dictate your path, wasn't it me who turend off the spotlight that was shining down on me kind of thought. People often say that life is not a fairytale. But sometimes like a child, and sometimes like a fool, how about dreaming of a life that's like a fairytale? If you don't turn off the spotlight, and if you don't give up on your dream, maybe then, something that'd even more fairytale-like than a fairytale might happen. The first love that was thought to never come true comes true, or a childhood dream which had been pushed aside into your distant memory comes true. Miracle-like things could really happen.

Friday, December 4, 2015

147 ㅡ ♕ Happiness depends on ourselves.

When you're young, many people ask 'what is your dream?' However, as i mature, the number of people asking what my dream is gradually disappearing. Holding onto my dream until i become an adult isn't easy in this world. When faced with reality, somewhere along the line, the fact that the dream seems way out of reach, and seems to have disappeared, causes me not to even remember what my dream was to begin with at any given moment. However, before completely forgetting my dream, thankfully someone asked the adult version of me again.

Happiness depends on ourselves.

Friday, October 16, 2015

146 ㅡ ♕ I GOT REPLIED, bruh.

Hello! So i just got time to make a post about this HEHE. i just wanted to remember how i got replied by my idols and it was so fascinating how they could pick my questions and replied to them. Super excited and happy everytime i look at those answers. Let's get started!


Firstly, let's start with the question that S.Coups, the leader of Seventeen replied me.


[17's S.Coups] I'm coming for healing~!!!!!!

Okay and then i asked him, 

[jujuheon] Oppa, do you like hiphop?

BOOM!
I GOT THE ANSWER.

[17's S.Coups to jujuheon] I'm hiphop team's leader haha.


SHOCK BUT OKAY I'M TRYING TO CALM MYSELF 
UP TILL NOW HAHAHAHA 
PARDON.



i thanked him for answering my question 
out of all the questions that seventeen stans had sent him.
"THANK YOU, SEUNGCHEOL-AH!"


Let's moving on to the most memorable thing that ever happened to me ever since i started joining this Monsta X fandom.
*drum rolls* *fireworks* *cheerleader team*

So Monsta X held a mini event. The event was all around the internet, they wanted us to ask them question with the hashtag that they gave. We needed to tweet it along with the hashtag so they could track us. 

I asked so many questions that i was curious about my bias; Lee Jooheon. The rapper of the group. I sent them many too, other members. Since this group just debuted so many questions running through my head, to get to know them more. 



This is one of the question that get noticed, HEHEHEHE. 
i've sent a pretty good question for juju.

[jujuheon to OfficialMonstax] Jooheon oppa, why do you like wearing hats?

After some time, after they closed the mini event.........Monsta X member's questions one by one got revealed. Jooheon's one was like revealed pretty late. So i also didn't get myself too much into the question and answer since i thought i wouldn't get a chance to get replied though. 

BUT, A LONG WAITED IS WORTH IT. 



if you haven't seen mine, just go up again and see it on the first line of all the questions.
YEHET! I GOT IT. 

Well, i remembered talking to my friend that if juju didn't reply me, it means there's something wrong with his eyes since he has small eyes or in bahasa we can say as sipit.


I'm using it for my header on twitter since i'm loving it much!



And this is some of the translation for Jooheon's answered question.
Mine is at the top about why he likes wearing hats so much. 

I always wondering why he likes wearing hats so much because ever since he debuted, 
all i see in the live performance is he wears hat. LIKE ALL THE TIME. 

WHEN IS YOUR HAIR GONNA BREATHE, I WAS GOING TO ASK HIM THIS TBH HAHA.

Well and he answered my question. That was shocking but i was okay, i'm okay. I punched my sister a little bit because of this sudden recognition of my existence. 

There were some fans got replied but they were some fans who didn't too, 
I felt really grateful that i could get one. 

This makes me loving Monsta X more and more.


"THANK YOU, SEUNGCHEOL!"
"THANK YOU, JOOHEON!"

I'LL NEVER FORGET THIS. YAY.



145 ㅡ ♕ 그림 같은 나.

One day, I had a thought, Heroines don't exist only in movies or dramas. Like popped corn shoved aside like a bridesmaid for an appetizer that was the heroine, in real life some people are the main characters and some are the supporting cast. That's how life is, that was what I thought. Then I am probably Friend Number 3 of the lead in supporting role. No, I probably don't even need and am not fit for the spotlight. I might be just an extra who doesn't have any presence. ㅡ 김혜진

Thursday, October 8, 2015

144 ㅡ ♕ A Sudden Morning Breeze.

바람이 날 불렀다.
일어날수 밖에 없었다.
단 한가지 잃어버렸다.
너의 얼굴 잊어버려서 두려웠다.

Angin membangunkanku.
Tak bisa mengelak, aku terbangun.
Kehilangan satu hal yang pasti.
Aku takut melupakan wajahmu.

Wednesday, September 30, 2015

143 ㅡ ♕ Yoon Sena dan Aku.

Dia adalah Aku. Aku adalah Dia.


Yoon Sena – Seorang gadis yang pemalu, pendiam dan tidak mudah bergaul. Pemalu, bukan berarti tak ingin berteman. Pendiam, bukan berarti tak mau bicara. Menyendiri bukan berarti penyendiri. Introvert, kata mereka. Namun, di sini benar adanya gadis bersurai kecoklatan; coklat susu ini adalah seorang yang introvert.

Apa yang membuat kamu yakin kamu adalah seorang yang introvert, Sena?
“Aku sangat menikmati ‘Me Time’ yang membuatku harus memikirkan sesuatu dengan serius dan aku juga sangat menikmati kesendirian. I’m alone but not lonely.”

Begitulah katanya.

“Aku adalah seorang yang introvert. Namun aku bukanlah orang yang anti sosial atau tak mau berteman, aku hanya sulit untuk mengungkapkan isi hatiku. Apa yang ingin kukatakan menjadi berbeda ketika kalimat itu sudah keluar dari bibirku. Aku adalah seorang yang selektif dalam berteman. Not in a negative way. It's just really hard for me to express myself.

Lalu, apa kamu punya teman, Sena? No, offense.

“Aku senang mengamati sekitarku dengan cermat. Aku peduli pada kamu yang ada di sekitarku, hanya saja aku tak bisa cepat membuka diri untuk memberitahu isi hatiku. Aku selalu mencoba mencari tahu apapun yang terjadi di sekitarku. Oleh karena itu, aku adalah seorang pendengar yang baik dan sangat serius ketika mendengarkan. Aku pendengar yang hebat, kata mereka. Aku mendengarkan, mengamati dan memahami. Aku akan berpikir sebelum bicara sehingga aku hanya memberikan respon ketika kamu memintanya. Boleh mengatakan aku adalah teman yang sangat loyal. Dari awal aku tak bergumul dengan banyak orang sehingga pertemanan yang kulakukan tulus dan setia. Jadi jawaban atas pertanyaanmu adalah ya, tentu saja dan siapa temanku? Kamu.

Intorvert – Bukanlah sesuatu hal yang membuat Yoon Sena menjadi malu, tak percaya diri dan malah menutup diri. Tentu banyak kekurangan yang dimiliki Sena dalam bersosialisasi. Namun, introvert adalah bagian dari diri setiap orang. Jadi, sisi introvert itu harus dilatih dengan baik agar kedepannya sisi itu dapat berubah menjadi sebuah kelebihan yang membuat kita membuka diri secara maksimal.

Yoon Sena, dengarkan aku.
Menjadi seorang introvert bukanlah sebuah hal yang menakutkan bagi society. Anti-sosial mereka katakan? Tidak, tidak. 

Yoon Sena dan aku tak sama juga tak berbeda.
Kami melihat hal itu sebagai suatu kelebihan yang nyata.


Aku adalah Yoon Sena. Dia adalah Aku.

Tuesday, September 29, 2015

142 ㅡ ♕ [Final Chapter] Felicie & Jaehee: Jemari Robin Bergerak.

Location: Melbourne Hospital
Date: September 8th, 2015
Time: 08:30AM

<Felicie Baylissa Nell; Head Team of Pharmacist POV>

Kembali Feli menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan setiap detail kata yang terucap dari bibir to the point milik Jaehee.

Sangat menarik. Gadis ini tersenyum sedikit lega, mendengar bahwa dokter yang bertanggung jawab atas kasus ini menyetujui rencana yang dibuatnya secara dadakan. Tak butuh dan tak bisa membutuhkan waktu yang lama untuk membuat suatu rencana untuk menangani kasus kedokteran, berbeda dengan kasus-kasus dalam tanda kutip lainnya. Pasien bisa tidak tertolong jika dokter, perawat dan ahli farmasi tak bergerak cepat mencari solusi medis. Dua buah pertanyaan berinti sama diulang oleh Jaehee, pertanyaan yang lebih terdengar seperti pernyataan itu menusuk gendang telinga Feli dengan begitu kencang.

"Tentu saja!" Jawabnya cepat. "Ayo kita ke laboratorium!" Ajak Feli seraya berdiri. Namun sebelum itu, gadis ini membantu Jaehee membereskan sedikitnya beberapa berkas yang berserakan di atas meja. Belum mendengar jawaban dari Jaehee untuk pergi ke laboratorium, namun gadis ini sudah melangkahkan kakinya keluar ruangan. Yang pastinya diikuti oleh Jaehee di belakang. Wajah berminyak sehabis berfikir keras dan kritis tentang medis, badan yang cukup letih karena seharian duduk membuat Feli nampaknya sudah merasakan malam dalam dirinya.

Untung saja lift khusus dimiliki Melbourne Hospital yang diperuntukkan bagi para dokter di lantai-lantai yang memang adalah lantai khusus kantor para dokter. Thanks, Melbourne Hospital. Di saat genting tetap harus berterimakasih, Feli dan Jaehee tak menghabiskan waktu yang lama untuk akhirnya sampai di lantai 8 yang merupakan lantai khusus laboratorium steril milik Feli dan teman-teman dari Pharmacist Team of Melbourne Hospital.

"Tunggu di sini saja"

Lantai 8, di samping kiri persis di sebelah lift terdapat sebuah ruang berbentuk persegi panjang yang tak begitu besar namun cukup untuk hampir 10 orang untuk menunggu di sana. Ruangan yang dilapisi kaca sebagai dinding tembok membuat orang-orang yang menunggu di sana mampu memperhatikan para ahli farmasi yang sedang bekerja dalam laboratorium milik mereka. Putih identik sebagai warna rumah sakit, begitu juga bagi lantai 8 milik para farmasi ini. Feli mengisyaratkan pada Jaehee untuk duduk dan menunggu dalam ruang tunggu selagi ia masuk ke dalam laboratorium untuk membuat campuran obat untuk Robin. "Aku tak akan lama" Ujarnya seraya segera berlari kecil masuk ke dalam lab.

Pintu dibukanya dengan menempelkan kartu identitas pekerja di sebelah kanan pintu dekat gagang pintu yang akan terbuka secara otomatis jika kartu beridentitas benar di-scan. Tring. Pintu terbuka secara otomatis, ruangan yang ditemuinya pertama kali adalah sebuah ruang kecil tempat para farmasi mensterilkan diri dengan mencuci tangan dan mengenakan jas serta kacamata, juga penutup kepala dan masker. Jaehee mampu memperhatikan setiap gerak-gerik yang dilakukan Feli di dalam sana mengingat semua dinding laboratorium adalah kaca tembus pandang. Segera Feli menekan tombol di sebelah kanan pintu dengan dengkulnya, agak sedikit ke bawahㅡia masuk ke level lab selanjutnyaㅡkini Feli benar-benar masuk ke dalam laboratorium. Terlihat beberapa pekerja yang sedang mencampuri obat serta menumbuk obat yang bersifat padat mengangguk ke arah head team mereka; rasa hormat. Dibukanya freezer khusus untuk menjaga kesterilan beberapa zat yang sangat penting bagi tubuh. Sebuah pendingin yang diatur sesuai untuk kebutuhan penjagaan kesterilan zat yang akan digunakan Feli sebagai campuran obat bagi Robin. Diambilnya zat berwarna bening dengan sebuah penjepit yang mana tangan gadis ini pun dilapisi oleh sepasang sarung tangan plastik. Steril, itu sudah seharusnya. Setelah mengambil zat tersebut, Feli duduk di meja yang tak lain adalah miliknya dan mulai bereksperimen. Campuran asam amino essential yang diambilnya dari freezer tersebut dituangnya ke dalam sebuah spuit atau yang lebih mudah dikenal sebagai alat suntik. Dipastikannya jarum hipodermik yang akan disuntikkan ke dalam nadi Robin berfungsi dengan baik, disentilnya sedikit pelan ujung jarum. Kapasitas asam amino esensial; 1ml cukup untuk Robin. Mudah-mudahan cukup untuk membuat anak laki-laki itu mau bangun dari tidurnya. 'Sudah selesai' Ucapnya dalam hati. Feli pun berdiri dari duduknya, memasukkan alat suntik ke dalam sebuah kotak steril dengan balok es batu mengelilingi spuit berisi obat tersebut. Anggukkan kecil kembali diberikan pada pekerja yang mengangguk ke arah Feli yang berjalan ke luar ruangan dengan sedikit terburu-buru. Feli menekan tombol di sebelah kiri bawah pintu dengan dengkulnya, tangan membawa kotak dengan penuh perhatian dan hati-hati. Ia melepas jas dan segala peralatan yang dikenakannya untuk ke laboratorium dengan cepat.

Dalam hitungan detik, gadis ini sudah berada di depan Jaehee kembali dengan sudah membawa obat yang dapat disuntikkan ke dalam tubuh Robin sekarang juga, namun harus melihat kondisi Robin saat ini terlebih dahulu.

"Sudah miss, ini obatnya sudah ada di dalam kotak ini" Ujar Feli sembari mengangkat kotak yang sedikit berat karena berisikan balok es batu di dalamnya.

<Song Jaehee; Dokter Anestesi dan Kardiovaskular POV>

Suara nyaring nan indah yang dituturkan oleh gadis dihadapan Jaehee ini membuatnya begitu bersemangat. Feli setuju untuk membawanya atau lebih lazim dikatakan mempersilahkan dirinya untuk melihat dan menatap dari dekat pembuatan obat yang dimaksud oleh Feli untuk disuntikkan ke dalam tubuh lemah milik Robinㅡdengan harapan kesembuhan fungsi-fungsi saraf dari anak itu serta didukung oleh doa yang disampaikan orang-orang terdekatnya, termasuk Jaehee dan Feli sendiri.
Feli mempersilahkannya ikut melihat pembuatan obat di laboratorium lantai 8 rumah sakit ini. Dengan menaiki lift khusus pekerja rumah sakit itu, mereka tidak harus berdesakan dengan orang banyak dan bisa cepat sampai di lantai 8.

Jaehee terkesima, menemukan bahwa laboratorium yang dimiliki rumah sakit Melbourne ini sungguh luar biasa. Perbedaannya terasa, kala melihat hamparan kaca yang transparan dan keadaan yang benar-benar putih, bersih dan sungguh begitu terawat.

"Tunggu disini saja." Begitu, Feli memutuskan. Jaehee menganggukan kepalanya mengerti mendengar gadis itu menyuruhnya menunggu di luar. Yaㅡdia sadar bahwa laboratorium itu bukanlah tempat yang bisa dimasuki sembarang orang. Tentu saja, benar.

Jaehee berdiri di depan kaca transparan memperhatikan Feli yang sudah dibalut dengan jas khusus, sarung tangan serta masker yang dikenakannya.

Tangan Feli begitu lincah bereksperimen dengan zat-zat dan campuran tertentu dihadapannya itu. Diperhatikannya gerak dan gerik gadis ini dengan seksama.

Luar biasa, batinnya. Dia terlalu konsentrasi menonton Feli bereksperimen. Tanpa sadar senyum puas di wajahnya terlihat begitu jelas. Kedua tangannya sudah terlipat di depan dada. Pikirannya mulai menerawangㅡbahwa dengan adanya obat ini, kesadaran Robin harus kembaliㅡseutuhnya. Bukan hanya sadar, catat itu. Tetapi, pulih dan pada akhirnya berupa tindakan yang mana berarti semogaㅡberharapㅡbahwa terapi psikologi komunikasi yang akan dilakukan Jaehee harus berhasil dengan baik.

Entah itu, psikologis dari sang anak yang mungkin terganggu akibat shock atau mungkin kelemanan fungsi otak dan saraf tubuhnyaㅡsemuanya masih terus diusahakan untuk secepatnya diteliti. Cepat, namun pasti jika berhubungan dengan kondisi medisㅡkedua kata itulah yang paling tepat untuk dikatakan.

Feli masih berada di dalam laboratorium ketika sebuah panggilan masuk pada ponsel Jaehee membuyarkan konsentrasinya.

Tanpa melihat siapaㅡnama yang tertera pada layar ponsel tersebut, Jaehee langsung mengangkatnya.
"Halo," katanya pada suara diseberang. "Ada apa?" Sambungnya setelah mendengar siapa yang berbicara disana.

Matanya masih pada pandangan awas, memperhatikan setiap gerak-gerik dari Feli.

"Aku tidak bisa sekarang," bantahnya. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak. "Tidak, besok saja. Katakan pada Briana bahwa ada yang harus aku selesaikan terlebih dahulu." Jelasnya. "Ini sangat penting. Aku tidak bisa menunda."

Dia memberi penekanan pada kata menunda kemudian menghela nafas berat. "Masalah CSR lagi?" Kali ini nadanya meninggi. Kelihatan sekali dia sedikit kesal. "Akan kukirimkan proposalnya malam ini. Lagipula besok aku harus menghadiri acara penyambutan para intern." Jaehee berkomentar. Lebih seperti itu, bukan mengelak atau tidak mau. Jeda sebentar, kala suara diseberang mulai bercerita, rasanya.

CSRㅡyang dikenal sebagai Corporate Social Responsibility, sebuah tanggung jawab sosial perusahaan yang dimana dibedakan dengan sumbangan atau kegiatan sukarela kepada masyarakat dan komunitas sekitar perusahaan. Disini hubungannya dengan Jaehee adalah dia baru saja bergabung dengan tim Public Relations rumah sakit Melbourne dimana dia ditugaskan untuk memikirkan sebuah strategi komunikasi guna meningkatkan reputasi atau citra rumah sakit diantara publik dan rumah sakit lainnya.

Sulitㅡmemang, karena dia harus memutar otak mencari celah dan kemungkinan lainnya.
"Nanti malam, ya. Sudah aku tutup dulu." Jaehee mengatakannya dengan cepat kala matanya menangkap sosok Feli sudah bersiap keluar dari ruang laboratorium. Dimasukkannya kembali ponsel ke dalam saku jas putihnya dan menunggu Feli disana.

"Sudah miss, ini obatnya." Seuntai kata dari bibir Feli membuat Jaehee kembali bersemangat. Dibukanya kotak steril itu dan ditemukannya spuit berisi cairan yang diyakini dengan nama "Neurotransmiter" yang akan membangunkan Robin dari tidurnya, dikelilingi oleh bongkahan es batu yang akan mempertahankan obat tersebut.

Jaehee melirik ke arah Feli dan menganggukan kepalanya sekilas.

"Ayo Feli, kita segera ke tempat Robin." Ajaknya seraya mengangkat pergelangan tangan kirinya yang dimana terdapat arloji menunjukkan waktu sekitar.

"Sekarang saat yang tepat untuk menyuntikkan obat tersebut bagi saraf-saraf tubuh Robin."
Sambungnya lalu mereka berjalan berdampingan menuju liftㅡmenekan tombol 3 yang adalah dimana ruangan ICU berada.

Tak lama mereka sudah sampai di depan ruang ICU.

Jaehee melihat adanya keluarga Robin yang masih menunggu, terutama Ibunyaㅡyang mana matanya masih terlihat sembab, diasumsikan masih menangisi putranya itu.

Sekiranya sebentar Jaehee bertegur sapa dan meyakinkan keluarga Robin bahwa putra mereka akan baik-baik saja, kemudian dia segera melangkahkan kaki memasuki ruangan ICU yang transparan dengan kaca dan bisa secara luas terlihat dari luar bagaimana keadaan di dalam.

Hal ini sebenarnya memang sudah seharusnya dilakukan oleh semua rumah sakit, agar rumah sakit bisa secara terbuka memperlihatkan keadaan, situasi dan kondisi di dalam ruang ICU dan meningkatkan kredibilitas rumah sakit tersebut.

Setelah mencuci tangan dan meyakinkan diri sendiri bahwa tubuh sudah steril, Jaehee dan Feli pun mengenakan jas biru muda yang disalukkannya ke tubuh serta sarung tangan.

Semuanya sudah siap. Sekarang mereka melangkah masuk ke dalam ruang steril dimana Robin terbaring disana.

Jaehee melangkahkan kakinya lebih dahulu lalu kemudian disusul oleh Feli yang mendampingi dirinya dengan tak lupa membawa kotak berisi cairan "Neurotransmiter" serta sebuah suntikan baru yang akan digunakan untuk menyuntikkan obat tersebut ke dalam tubuh Robin.

Jaehee menatap nanar keadaan Robin yang terbaring lemah diatas ranjang pasiennya. Dia mengulurkan tangannya dan menggenggam sekilas salah satu kepalan tangan Robin disana.
"Bergerak," bisiknya pada Feli yang disusul sebuah anggukan singkat dari gadis disebelahnya.
"Aku melihatnya." Lirih Feli kala dia mengerti apa yang dimaksud Jaehee dengan kata bergerak barusan.

Yaㅡjemari Robin bergerak, sedikit tetapi ada pergerakan. Namun, matanya masih tertutup dan sepertinya memang masih belum ingin sadar.

Jaehee menerima suntikan yang diberikan dari Feli, kemudian membuka tutup yang melindungi ketajaman jarum pada alat tersebut.

Dia menerima sebuah botol kecil yang disodorkan Feli padanya. Lalu, jarum tajam yang ada pada suntikan tersebut di tusukannya membuat sebuah lubang kecil pada tutup botol yang masih steril. Perlahan, dikendurkannya suntikan itu seraya memudahkan masuknya cairan.

Setelah dirasakannya cukupㅡJaehee pun mengalihkan suntikan itu kepada lengan Robin. Sebelumnya, dia mengusapkan alkohol terlebih dahulu dan mencari pembuluh vena pada lengan anak laki-laki itu.

Disuntikkannya cairan "Neurotransmiter" dengan harapan dan doa bahwa Robin bisa secepatnya kembali sadar.

<The End>


Olà! Akhirnya short story atau yang bisa disebut fanfiction ini berakhir juga hehehe perjuangan panjang nulis ini di tengah-tengah tugas yang melanda setiap harinya. Thanks to my sister yang udah sama-sama barengan nulis ini, love you! Kalau ada pengetikan dan istilah-istilah yang salah di dalam cerita ini, mohon dimaklumi ya because i'm not a medical student but dreaming to be one honestly lol 

"Kalau sudah besar mau jadi apa?"
"Dokter!" That's me, so pardon. 

Anyway, makasih buat yang udah luangin waktu buat baca! I appreciate it so much. Thankyou so much and i'll see you guys soon, adios! 

Monday, September 28, 2015

141 ㅡ ♕ [Chapter 3] Felicie & Jaehee: Neurotransmiter.

Location: Melbourne Hospital
Date: September 8th, 2015
Time: 08:30AM

<Felicie Baylissa Nell; Head Team of Pharmacist POV>

Kala sedang memperhatikan segala bentuk dokumen yang berserakan di atas meja sebagai pendukung bahwa memang Jaehee dan Feli memutar otak, menghabiskan waktu yang harusnya bisa digunakan mereka untuk bersantai itu, Jaehee menyuguhkan Feli secangkir teh.

'Apple Tea!' Pekiknya dengan suara 0% dalam komputer, hatinya mulai berterimakasih setidaknya tata krama tamu bertamu yang dimiliki oleh Jaehee masih diterapkan sampai sekarangㅡsudah seharusnya. Feli hanya berterimakasih Jaehee masih ingat untuk menyuguhkannya secangkir teh meskipun hanya sebagai pemanis, Feli tengah sibuk menyerap segala informasi data Robin dan hanya mengangguk seraya tersenyum ke arah Jaehee yang mempersilahkannya untuk menyesap teh beraroma harum itu. Konsentrasi Feli tak ingin dibuyarkannya, jika ia mengambil cangkir itu, berarti ia sudah siap bersantai. Tidak, bukan sekarang. Masih membolak-balik berkas-berkas yang ada dan Jaehee kembali menjelaskan banyak mengenai analisis yang telah dilakukannya secara pribadi dan sampai sekarang masih terus berjalan.

Saraf tubuh yang masih mengikuti otak, kening Feli sedikit berkerut. Tandanya Robin masih bisa memfungsikan sistem tubuhnya terutama saraf dengan normal meskipun bisa saja tidak dalam kondisi yang maksimal. Asumsi demi asumsi muncul di kepala Feli bagaikan layar presentasi yang mem-pop-out-kan sebuah tulisan terbang di atas background. Namun seterusnya gadis ini masih mendengar kelanjutan simtoma hasil analisis pribadi dari Jaehee dan mendapati informasi lain bahwa Jaehee berfikir bahwa Robin mengalami traumatik.

Ringan atau tidak? Ringan atau tidaknya tingkat traumatik seseorang tak bisa diperkirakan dari bagaimana cara tubuh seseorang itu menolak. Seperti contohnya keadaan kasus langka dari Robin yang mana pasien muda ini menolak untuk membangunkan dirinya sendiri. Kita belum mampu mengetahui seberapa jauh Robin mengalami trauma dalam dirinya. Yaㅡmari kita bangunkan Robin. Sebuah obat yang harus diberikan adalah obat yang harus membangunkan Robin bagaimanapun caranya. Feli kembali memutar otaknya, mengingat serangkaian essay lengkap yang dibuatnya sedemikian rupa ketika skripsi.

Hampir semua obat-obat psikiatri bekerja dengan memanipulasi berbagai neurotransmiter di sistem saraf pusat yaitu otak. Otak adalah organ yang terdiri dari berjuta-juta sel saraf. Otak mampu melakukan fungsinya dengan baik bila sel-sel otak bekerja dengan baik pula. Kondisi ini tercapai bila terdapat komunikasi yang benar antar sel-sel saraf.
That's it! Itu yang harus dibuat bekerja oleh Feli melalui pemikiran dan ramuan obat yang harus dibuat. Sistem saraf harus mampu bekerja sama dengan otak layaknya partner hebat. Neurotransmiter. Feli ini dia.

Neurotransmiter ㅡ zat yang diperlukan dalam mengatur komunikasi antar sel saraf. Jenis obat ini akan membantu menenangkan serta membuat otak serta sistem saraf bekerja maksimal sesuai dengan fungsinya. Di dalam kasus ini, fungsi dari sistem saraf Robin disalahgunakan otaknya sehingga terjadilah fungsi yang menyimpang dan tugas partner dokter-farmasi adalah mengembalikan keadaan Robin ke posisi semula. Feli menelan ludah dengan sedikit sulit ketika pemikiran demi pemikiran mulai menerjang keningnya. "Hm.." Feli mulai angkat bicara, rangkaian kalimat mulai ingin dikeluarkannya "Aku tau satu obat yang memang cocok untuk Robinㅡmembangunkan Robin dari ketidakinginannya untuk bangun." Feli menatap Jaehee yang tengah memperhatikannya dengan tatapan fokus ke dalam pembicaraan. "Neurotransmiter." Lanjutnya pendek. "Sebuah obat psikiater yang dapat memaksimalkan bekerjanya otak dengan sistem saraf secara maksimal"

"Aku mengerti bahwa traumatik mungkin saja menjadi salah satu alasan mengapa pasien muda ini tak mampu atau lebih tepatnya tak ingin bangun dan kita bisa mencoba memberikan Neurotransmiter sebagai obat pengacu Robin untuk membangunkan dirinya dari lelapnya trauma" Jelas Feli. "Obat ini akan memperbaiki sistem saraf dalam tubuh Robin sehingga sistem tersebut menjadi stabil kembali dan akhirnya dapat memperbaiki emosi, perilaku, cara berpikir, dan bertindak Robin nantinya ketika ia bangun" Feli menjelaskan seluk-beluk obat yang diberikan Feli sebagai bentuk rencana penyembuhan kasus langka yang dialami Robin. Gadis ini menatap Jaehee, menunggu reaksi atas rencana Feli dalam bidangnya.

'Terapi Psikologi Komunikasi' Neurotransmiter dirasa pas sekali untuk menunjang kelanjutan penyembuhan Robin.

<Song Jaehee; Dokter Anestesi dan Kardiovaskular POV>

"Neurotransmiter." Sebuah nama yang agaknya tidak begitu asing sependengaran Jaehee dilontarkan oleh Feli. Nama obat yang dicerna Jaehee adalah salah satu yang pas menurut Feli untuk membangunkan Robin dari tidurnya.

"Bagus Feli, itu dia!" Seru Jaehee seraya menjentikkan jarinya dan tersenyum ke arah gadis dihadapannya. Dia terlalu lega, meskipun untuk sementaraㅡmeyakini dirinya bahwa obat yang dimaksud Feli serta seluruh rangakain penjelasan yang dilontarkan oleh gadis itu memang semuanya masuk di akal. Bukan semerta-merta hanya mencari obat yang cocok, tetapi setiap detail penjelasan serta cara kerja Neurotransmiter yang dikatakan oleh Feli dianggap Jaehee sebagai salah satu bentuk solusi guna memperbaikiㅡistilahnyaㅡmembangunkan singa yang sedang tidur.

"Ya, aku ingat aku pernah mendengar obat semacam itu." Dia menganggukan kepalanya ke arah Feli, begitu setuju dengan saranㅡbukan, sebuah obat yang benar adanya bisa mengembalikan fungsi sistim saraf pada sel-sel otak Robin, yang kemudian akan disalurkan kepada seluruh bagian tubuh dan alhasil membuatnya kembali bangun.

Benar, tidak salah aku bicara dengan Feliㅡbatinnya. Senyum menggembang di bibirnya kala mendengar Feli memberikan penjelasan yang begitu rinci dan terpercaya. "Apa bisa kita dapatkan obat itu sekarang?" Jaehee bertanya.

Keinginan untuk memonitor setiap perkembangan Robin dan segera membangunkannya membuat Jaehee semakin bersemangat demi kesembuhan anak laki-laki itu.

"Maka dari itulah, aku butuh kerjasamamu." Tutur Jaehee memberitahu. "Karena aku yang turun tangan langsung dalam kasus langka kali ini, aku ingin agar semua obat-obatan yang digunakan atau disuntikkan kepada Robin harus atas dasar sepengetahuan dan persetujuanku." Dia menekankan pada beberapa bagian kata pada kalimatnya itu. Untuk memperjelas bahwa dia memang bertanggung jawab atas kondisi Robin.

Song, JaeheeㅡGadis ini baru menyadari keberadaan obat tersebut. Sejak tadi, pikirannya melayang entah kemana dan yang dia pikirkan hanyalah bagaimana caranya bisa menyembuhkan Robin. Dia melewatkan beberapa titik tertentu yang sebenarnya penting untuk dia pertanggungjawabkan. Ah, tak apalah. Jaehee juga manusia, dia bisa melakukan kesalahan tapi disini posisinya bukan melakukan kesalahan. Dengan memanggil Feli untuk mendiskusikan kasus ini dengannya, dia merasa bahwa diaㅡcapslockㅡtelahㅡmenanggulangi segala kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.

"Feli, jadiㅡapakah kita bisa mendapatkan obat itu sekarang?" Dia mengulang pertanyaannya kala otaknya masih mencerna setiap detail pekerjaan yang sudah tersusun jelas di pikirannya dan harus direalisasikan secepat mungkin. Dia melirik ke arloji yang dikenakannya di pergelangan tangan sebelah kiri, "Kalau bisa, obat itu harus kita suntikkan pada Robin sebelum hari ini berlalu." Sambungnya.

<to be continued>

Friday, September 25, 2015

140 ㅡ ♕ [Chapter 2] Felicie & Jaehee: Terapi Komunikasi Psikologis.

Location: Melbourne Hospital
Date: September 8th, 2015
Time: 08:30AM

<Song Jaehee; Dokter Anestesi dan Kardiovaskular POV>

Jaehee menganggukan kepalanya sekilas mendengar Feli ternyata sudah mengetahui sedikit banyak tentang pasien yang akan mereka bicarakan hari ini.

"Baik, kalau begitu aku akan mulai masuk ke dalam materi pembicaraan kita." Ujar Jaehee seraya tersenyum.

Diaㅡtak lain, begitu merasa lega. Pasalnya, dia cukup tertolong karena Feli kemungkinan besar bisa diandalkan untuk mendampinginya menangani pasien ini. Alih-alih menjelaskan dari awal, pikirannya menolak untuk melakukan hal tersebut. Dipikirnya, nanti biar Feli saja yang mempelajari lebih lanjut terlebih dahulu. Dia lebih senang dengan yang mau belajar dan tidak hanya sekedar bertanya karena tidak mengerti.

Ekspektasi dan harapannya pada Feli sangat tinggi. Meskipun dia belum membiarkan gadis dihadapannya ini untuk mempelajari dokumen-dokumen yang beberapanya sudah dia tandai. Ternyata, Feli memang sudah melakukan survei terlebih dahulu tentang kondisi pasien. Menarik, batinnya. Dia berharap Feli bukan hanya sekedar di awal tetapi bisa memberikan hasil yang memuaskannya.

"Robinㅡ9 tahun."

Jaehee melafalkan sebuah nama. Diyakini nama seorang anak laki-laki.

"Kemarin, pada saat di taman kota terjadi pengeboman. Aku tidak sengajaㅡmaksudku, kebetulan berada di daerah sana. Sehingga, beberapa saat setelah kejadian aku yang masih berada di sekitaran taman kota sempat memberikan pertolongan pertama pada anak laki-laki bernama Robin ini." Dia menjelaskan terlebih dahulu siapa sebenarnya Robin yang dimaksud. "Jantung robin sempat mengalami shock dan berhenti beberapa waktu. Tetapi, untunglah aku berhasil mengembalikan denyut jantungnya dan syukurlah dia sudah ditangani oleh ahlinya." Dia menghembuskan nafas lega, mengingat ada luka yang cukup dalam pada pinggang sebelah kiri Robin akibat tusukan pecahan lampu taman kemarin. Meskipun sudah berhasil dikeluarkan dengan rapih, Robin sempat mengalami pendarahan hebat. "Sekarang, dia masih berada di ICU dan dikontrol dengan ketat oleh perawat." Jaehee menjelaskan kondisi anak laki-laki itu hari ini. "Tetapi," Matanya menatap Feli dan berubah menjadi lebih serius. "Ada kemungkinan terburuk yang akan diderita oleh anak tersebut. Dia kemungkinan besar mengalami trauma dan masih belum sadarkan diri." Gadis ini menekankan pada kata trauma. "Mengapa aku bisa berkata demikian. Hal ini karena, setelah sehari aku perhatikanㅡRobin seharusnya sudah sadar karena jari-jari tangannya terlihat beberapa kali bergerak. Tetapi, belum ada kemauan dalam dirinya untuk kembali bangun dari tidurnya." Jaehee memberikan jeda sedikit sebelum kembali melanjutkan penjelasannya. "Maka dari itulah kami menamakannya rare traumaticㅡkarena belum adanya kemauan dari sistem-sistem saraf tubuhnya untuk kembali bekerja."
 
Manik mata hazelnya menatap Feli lekat disana seakan mempertanyakan apakah gadis dihadapannya ini mampu mencerna dengan jelas apa yang dia katakan. Melihat Feli menganggukan kepalanya seraya mendengarkan dengan seksama, kini tangannya terulur ke arah dokumen-dokumen di hadapan Feli dan dibukanya salah satu map berwarna biru muda kemudian diperlihatkannya kepada Feli sebuah halaman berisi diagram grafik serta beberapa sticky notes yang menempel di sisi bagian halaman tersebut yang mana terdapat tulisan tangannya beberapa saat yang lalu.

"Ini adalah diagram kondisi dari Robin kemarin, hingga pagi tadi. Disini menjelaskan seberapa besar persentasi sebenarnya kemungkinan Robin untuk sadar sepenuhnya. 89% hasil medis mengatakan bahwa anak itu seharusnya sudah sadar tadi pagi, dini hari. Tetapi, sampai pada waktu sekitanya dia masih terus tertidur."

Jaehee menunjuk pada beberapa diagram yang ditampilkan pada halaman tersebut. Lalu, membiarkan Feli memahami kondisi medis dari Robin dan menunggu tanggapannya, sebelum memberitahukan apa yang harus Feli lakukan selanjutnya.


<Felicie Baylissa Nell; Head Team of Pharmacist POV>

Ruangan dingin akibat angin buatan menusuk tulang Feli yang tengah fokus dalam rapat. Gadis ini menggigit bibirnya bawahnya sedikit dengan pelan ketika mendengar pernyataan dari Jaehee. Fokus, gadis ini mencerna info data yang dijelaskan langsung oleh dokter yang menangani pasien 'Rare Traumatic' tersebut.

Anehㅡapa yang membuat anak tersebut tak mau bangun? Ketidakingininan untuk bangun. Data pasien, mulai dari grafik kesehatan sampai dengan keismpulan dari simtoma yang dimiliki oleh sang pasien. Mata Feli menangkap manik mata Jaehee yang tengah menjelaskan segala bentuk simtoma tersebut dengan sangat detail. Feli mengangguk paham, pikirannya melayang. Tidak melayang dalam hal negatif dan tanda kutip. Melayang mencari celah dimana file tentang resep campuran obat-obat untuk pasien yang terganggu psikologisnya.

Harus menyiapkan obat-obat penenang. Feli memutar otak, mengembalikan rentetan daftar nama obat penenang yang dipelajarinya ketika kuliah dan saat praktek sebagai intern di salah satu apotek ternama di Melbourne.

Masih menatap Jaehee dengan fokus. Obat-obat anti depresan, psikostimulan, anti konvulsan, mood stabilizer, dan anti kolinergik. Masing-masing obat harus digunakan sesuai indikasi diagnosis yang ditegakan dan tidak menyebabkan tenang seperti yang dimaksudkan dalam pengertian obat penenang.

9 tahunㅡmasih sangat muda, tak mungkin diberikan campuran obat penenang dalam dosis tinggi yang tak lain berbeda jenis dengan yang telah disebutkan di atas. Gangguan otak dan jantung bisa dirasakan anak itu dalam waktu singkat jika penggunaan obat penenang dosis tinggi diberikan.
Lantas, untuk apa disiapkan obat penenang jika anak itu belum bangun? Jikalau diberikan obat penenang sekarang, maka bisa saja anak itu tak bangun selamanya. Tidak berbohong, mana mampu. Sebagai seorang ahli obat atau lebih kerennya disebut farmasi dan yang lebih dikenal dengan sebutan apoteker, sudah sepantasnya Feli membantu Jaehee dalam bidangnya sebagai ahli obat. Haruslah itu. Lalu, kini apa yang harus Feli lakukan selanjutnya. Gadis ini sudah mengetahui simtoma pasien yang memang sedikit langka akibat simtoma yang dilihat bercampur aduk. Gangguan jantung dan psikologis membuat pasien yang masih sangat muda ini memilih untuk tidak membuka matanya. Feli mengangguk pelan, memberikan reaksi bahwa ia sangat mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. 

"Baik, aku mengerti. Jadi bagaimana aku harus mendampingi dokter perihal menyembuhkan pasien muda berkasus langka ini?" Feli melempar pandangan ke arah gambar data grafik setelah bertanya hal itu kepada Jaehee.

<Song Jaehee; Dokter Anestesi dan Kardiovaskular POV>

Jaehee masih memperhatikan Feli disana yang dia yakini mata dan pikirannya mulai beroperasi memikirkan bagaimana cara mendampinginya menangani pasienㅡRobin, yang menderita kasus langka seperti ini.

Dikala Jaehee membiarkan Feli untuk menangkap dan mencerna setiap detail daripada dokumen dan dikombinasikan dengan apa yang telah dituturkan olehnya, gadis ini beranjak dari tempat duduknya dan melangkahkan kakinya ke arah sebuah meja kecil di sudut ruangan, yang dirancang sedemikian rupa agar sebuah ruangan sempit tidak terlihat begitu memakan tempat. Diletakkannya diatas meja tersebut beberapa cangkir dan alasnya, termos air panas serta sekotak Apple tea kesukaannya yang biasanya disuguhkan kepada semua yang datang berkunjung ke ruang kerjanya.

Bukan apa, hanya sekedar ingin menjamu secara sopan. Bukankah seharusnya begitu, tata cara sikap yang benar dan perilaku dalam menyambut salah satu, atau dua tamu?

Jaehee menglurkan tangannya, mengambil alas cangkir tersebut dan meletakkan cangkir kosong diatasnya. Sesekali matanya, melirik Feli yang konsentrasinya masih tidak terbuyarkan disana.
Bagus, batinnya. Gadis ini memiliki konsentrasi tinggi dan fokus dalam mengerjakan sesuatu.
Jaehee mengambil sebuah kantong teh Apel dan diletakkannya di dalam cangkir tersebut. Lalu, dituangkannya air panas dari termos secukupnya ke dalam cangkir yang akan disuguhkannya kepada Feli.

Setelah dirasa cukup. Dia mengambil sebuah sendok kecil sebagai pemanis yang bisa digunakkan juga untuk mengaduk teh agar warnanya menjadi merata secara menyeluruh.
Setelah dirasa selesai, dia mengangkat alas yang diatasya berisikan cangkir tadiㅡkembali ke sofa panjang dimana Feli dan dirinya duduk sebelumnya. Diletakkannya cangkir tersebut agak jauh dari dokumen-dokumen yang ada, agar tidak terjadi tumpahnya air atau semacamnya baik sengaja maupun tidak disengaja.

"Silahkan," Tutur Jaehee mempersilahkan Feli menyesap teh Apel yang disuguhkan untuknya itu.
Melihat Feli mendongakkan kepalanya, seraya menatap Jaehee dan tersenyum.

Gadis ini mendengar Feli mengucap terimakasih. "Ya, silahkan." Sambungnya.

Sekiranya untuk mencairkan suasana tegang yang mereka rasakan selama membicarakan mengenai pasien langka ini. Lagipula, meskipun dibutuhkan penanganan yang cepat, tentunya tidak boleh terlalu terburu-buru, bukan?

"...... Jadi, bagaimana aku harus mendampingi dokter perihal menyembuhkan pasien berkasus langka seperti ini?" Mendengar pertanyaan yang memang sudah ditunggu oleh Jaehee dari Feli, gadis ini menyeringai.

"Itu dia pertanyaan yang sudah aku tunggu." Dia berkomentar sebelum melanjutkan penjelasan selanjutnya, "Aku mengerti, kau pasti merasakan adanya keganjalan pada situasi dimana kemungkinan besar kau harus langsung memberikan obat penenang bagi pasien yang bahkan belum sadarkan diri seperti Robin." Jaehee kembali fokus. Dia mulai mengembalikan konsentrasinya. "Disini, aku berharap kau bisa memperkenalkan aku kepada sebuah obat yang diyakini bisa mengkomunikasikan dengan baik seluruh sistim saraf pada tubuh Robin. Sehingga, keseluruhan saraf pada tubuhnya diharapkan bisa kembali bekerja seperti semula lagi."

Diambilnya sebuah dokumen lain bertuliskan "Analisis Pribadi kasus Robin." dan diserahkannya kepada Feli.

"Aku masih melakukan riset terhadap anak ini dan akan dilakukan secara berkala tetapi berkelanjutanㅡdimana bukan hanya perubahan fisik dari Robin yang akan kita teliti. Tetapi, kondisi psikologis dan komunikasi dari sang anak pun harus kita tindaklanjuti."

Jaehee menarik nafas sebentar, memberi jeda lalu melanjutkan penjelasan panjangnya yang tak kunjung habis, "Sekitar 90% kemungkinan daripada penelitian hasil medis yang telah kulakukan, aku bisa mengakui bahwa Robin akan mengalami traumatik pasca kejadian yang telah menimpanya ini. Sehingga, kitaㅡaku dan kau terlebih, harus bisa mengkomunikasikan dengan baik cara satu-satunya untuk saat ini."

Kelihatannya, titik terang sudah mulai terdengar seiring penjelasan Jaehee yang semakin mengarah kesana. "Terapi komunikasi psikologis." Katanya memberitahu.

Sebuah kalimat yang mungkin asing di telinga Feli dan mungkin membuat keningnya berkerut bingung mempertanyakan bagaimana bisa Jaehee mengetahui soal terapi komunikasi psikologis dan semacamnya padahal dia bukan seorang psikiatris?

Tidak, kau tidak salah mempertanyakan dia. Namun, kau harus tahu kebenaran yang ada dibalik semuanya. Kuberitahu, diaㅡcapslockㅡbukanlah dokter biasa.

Banyak bidang dikuasainya. Kau tidak harus ambil pusing, dia professional di bidangnya. Dia bisa melakukan terapi komunikasi psikologi itu sendiri, tanpa bantuan seorang psikiatris.

"Terapi komunikasi psikologis ini akan aku lakukan ketika Robin sudah sadar. Tata caranya adalah, dengan merangsang penyampaian energi dari alat indera ke otak sehingga adanya pengelolaan informasi yang akan saling mempengaruhi setiap fungsi sarafnya pada tubuhnya dan dengan demikian bisa kita dapatkan respon dimana respon ini harus berupa tindakan, perilaku atau mungkin suatu bentuk komunikasi yang dilontarkan dari bibirnya sendiri." Jaehee menganggukan kepalanya sekilas, masih menatap Feli yang mencerna setiap detail perkataannya.

"Tentunya, terapi komunikasi tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa bantuan obat-obatan darimu. Tidak mungkin aku semerta-merta langsung menjakanya bicara. Kita perlu bekerjasama untuk lebih dulu merangsang sistim-sistim sarafnya. Dengan begitu aku bisa lebih mudah mengajaknya berkomunikasi secara mental dan perilaku yang ditimbulkan setelahnya. Sampai disini jelas?"
Jaehee lagi-lagi menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Entah sudah berapa lama dia berbicara tanpa ada titik akhirnya. Rasa-rasanya rongga giginya sudah meminta untuk di-olahragakan. Pertanyaan Jaehee sebelumnya dijawab dengan anggukan pasti dari Feli yang terlihat begitu yakin.

"Maka dari itu, disinilah tugasmuㅡmendampingiku sebagai ahli obat. Karena, aku sendiri akan turun tangan dalam kasus langka iniㅡmeskipun sebelumnya, aku memang dimintai tolong oleh Ibu Robin untuk menjadi dokter penanggung jawabnya dengan alasan sudah menaruh kepercayaan penuh padaku. Bahkan jika tidak dimintai pertolongan aku pun akan secara sukarela ikut terjun langsung dalam kasus langka ini. Disinilah, aku sangat memohon bantuanmu." Pintanya di akhir kalimat kepada Feli. "Bantu aku, dampingi aku dan biarkan kita saling bekerjasama sehingga bisa memberikan yang terbaik dan tidak mengecewakan pihak keluarga." Tuturnya panjang lebar dengan yakin dan penuh harap.

Perasaan iba dan penuh haru menyelimuti hatinya, kala menatap Robinㅡanak laki-laki yang seharusnya tidak terbaring lemah di ranjang rumah sakit dan bisa bermain bebas dengan teman-teman seumurnya malah mengalami hal seperti ini.
Diaㅡsungguh, ingin menolong. Bukan hanya mengobati, namun mendampingi sampai Robin kembali pulih.

<to be continued>

Wednesday, September 23, 2015

139 ㅡ ♕ [Chapter 1] Felicie & Jaehee: Rapat Kasus Langka.

Location: Melbourne Hospital
Date: September 8th, 2015
Time: 08:30AM

<Felicie Baylissa Nell; Head Team of Pharmacist POV>

"Telat telat" Seorang gadis terlihat baru saja memasuki sebuah gedung putih bertubuh kekar, gedung tersebut berdiri tegap di hadapan gadis berpakaian rapih dengan berbalut blouse putih dengan setelan jas bermotif floral yang senada dengan rok yang dipakainya. Tangan kiri memeluk buku-buku file yang kali ini harus dibawanya, data pasien ㅡ sangat penting. Tas putih berbentuk kubus digantungkan di pergelangan tangan sebelah kanan. Bergegas pastinya, harusnya memang bergegas. Alroji yang membalut pergelangan tangan sebelah kirinya berulang kali dilirik tanda tak percaya waktu berjalan begitu cepat meninggalkan gadis ini di belakang.

Wah, gawat. Pertemuan penting dan Feli sebagai Head Team terlambat datang, bisa jadi apa dirinya nanti. Bertubi-tubi pikiran ketakutan menghantam kepala gadis ini. Gawat. Telat 30menit. Yah, ada kompensasi harusnya sih. Batin Feli hanya mengatakan apa yang diinginkannya saja.

Setelah kemarin bertengkar hebat, tak juga sih hanya saja bertengkar karena alasan yang tak jelas dengan seseorang yang ditabraknya; Feli sudah kembali normal. Meskipun sedikit telat tapi semangat untuk bekerja sudah kembali normal seperti biasa. Rasa lelah mendadak sirna begitu saja ketika mendengar ada pasien kritis yang harus secepatnya ditangani, penyakitnya pun sangat langka. Tak ada yang berani menerima pasien ini, namun itulah kelebihan dari Melbourne Hospital yang patut diacungi jempol. Rapat kali ini akan membahas jelas bagaimana penanganan yang akan dilakukan pada pasien tersebut.

Tok. Tok. Tok.

Ketukan pintu terdengar pelan namun cukup keras bila didengar dari dalam. "Come in!" Terdengar suara dari dalam, suara halus yang terdengar lembut di telinga Feli yang tengah tenggelam dalam ketakutan. "Selamat pagi Miss" Sapa Feli ketika dipersilahkan masuk oleh suara halus yang tepatnya dimiliki oleh seorang wanita. "Maaf saya terlambat" Feli melangkahkan kakinya dengan berat ke dalam ruangan dingin dengan interior yang menenangkan jiwa, warna putih menjadi warna utama. Pasti wanita ini lembut, interior yang menenangkan hati. Pikirnya dalam hati. Lagi-lagi, ia hanya mengatakan apa yang ia inginkan terjadi saja.

<Song Jaehee; Dokter Anestesi dan Kardiovaskular POV>

Song, JaeheeㅡWanita bersurai kecokelatan ini terlihat sedang berkutat dihadapan dokumen-dokumen yang sedikit berserakan di atas meja kerjanya.

Keadaan sekarang, di dalam rumah sakit Melbourne, waktu sekitarnya. Matanya asik memeriksa dokumen-dokumen yang diyakini adalah bahan penting untuk dipresentasikannya kepada seseorang.
Sunyi, dan tidak terdengar suara apapun selain gertakan pena bertautan dengan lembaran kertas disusul lembaran kertas lainnya yang saling bertabrakan satu sama lain.

Helaan nafas terdengar dari bibirnya. Sesekali dia melirik ke arah jam dinding di dalam ruang kerjanya itu. Waktu sudah hampir menunjukkan tibanya seseorang yang sedaritadi ditunggunya. Tetapi, seseorang tersebut belum juga kunjung datang.

"Mungkin dia sedikit terlambat. Tak apalah." Dia mulai menghibur diri sendiri meskipun sebenarnya dia adalah sosok disiplin yang perfeksionis. "Atau mungkin terjebak macet." Gumamnya di sela menulis beberapa kalimat yang dipindahkan dari sebuah lembaran kertas ke lembaran putih polos lainnya. "Atau," Diangkatnya lembaran yang ditulisnya barusan, dan dijadikan satu dengan lembaran lain dimana terdapat sosok pena hitam miliknya beriringan.

"Mungkin masih ada pekerjaan." Sambungnya.

Jaehee, menyenderkan tubuhnya pada senderan kursi kerja miliknya sebentar. Sekedar melepaskan penat seiring dengan tertutupnya bola mata hazel miliknya.

MenungguㅡHal yang paling membuatnya bosan. Dia paling tidak suka menunggu. Oleh sebab itulah Jaehee risih jikalau orang lain menunggu kedatangannya. Jika dia memiliki janji untuk bertemu, dia akan datang lebih awal agar tidak ada satupun diantara mereka yang harus saling menunggu.

Tik, tok, tik, tok. Hanya suara jam dinding terdengar di dalam ruangan.

Hari ini, tertanggalㅡ8 September 2015, Jaehee akan mengadakan pertemuan dengan seorang ahli obat atau yang biasa dikenal dengan sebutan apoteker yang bekerja di rumah sakit yang sama dengannya ini.

Perihal pertemuannya adalah untuk membicarakan mengenai obat dan kondisi salah seorang pasien. Sebagai seorang ahli anestesi, sudah menjadi tugasnya untuk memeriksa obat-obatan yang akan dia gunakan dalam pembedahan atau pemberian obat secara berkala pasca pembedahan.

Tetapi, kasus kali ini berbedaㅡsehingga Jaehee bersihkeras untuk langsung turun tangan dalam proses pembuatan obat tersebut. Maka dari itu, hari ini dia mengadakan pertemuan dengan salah seorang kepala di bagian apoteker rumah sakit Melbourne untuk mendiskusikan mengenai kondisi pasien dan obat-obatan yang akan dipergunakan.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Matanya mengerjap dan melirik siapa diambang pintu ruang kerjanya itu.

"Come in!"

Dia berseru, mempersilahkan masuk seorang gadis muda berparas cantik dengan balutan jas putih memasuki ruangannya.

"Selamat pagi, miss."

Sapaan hangat dari sang gadis langsung disambut oleh Jaehee. "Selamat pagi," Dia bangkit berdiri dari tempat duduknya dan mengambil beberapa dokumen diatas meja kerjanya serta melangkahkan kaki ke arah gadis itu.

"Feli, benar?" Tanya Jaehee memastikan.

Setelah mendapatkan anggukan yang diasumsikan adalah benar, gadis ini adalah seseorang yang ditunggunya maka Jaehee langsung saja mempersilahkannya duduk.

"Sebelumnya, saya Song Jaeheeㅡahli anestesi sekaligus dokter di departemen kardiovaskular." Dia memperkenalkan.

Kemudian, diletakkannya beberapa dokumen diatas meja dihadapan gadis bernama Feli ini. "Langsung saja tidak apa-apa ya?" Dia sedikit terkekeh. Alih-alih memastikan bahwa Feli tidak masalah jika dia langsung kepada topik pembicaraan hari ini. "Jadi, aku memintamu untuk datang karena mengharapkan bantuan dan kerjasama-mu untuk salah satu pasien yang sedang aku tangani." Katanya, membuka pembicaraan. Dilihatnya Feli, memperhatikan dan dengan seksama mendengarkan apa yang akan dikatakannya selanjutnya.

<Felicie Baylissa Nell; Head Team of Pharmacist POV>

Feli menarik ujung bibirnya, membuat gadis berkulit seputih salju ini terlihat ceria.
Tampaknya tidak galak, atau galak.

Bila bisa digambarkan, mindmap isi dari kepala Feli adalah sebagai berikut; galak, tidak galak, cantik, tegas, to the point, pemarah?

Maafkan Feli yang selalu mencatat first impression sebagai pandangan utama dalam hidupnya. Gadis ini melangkah berat memasuki ruangan. Ketika mendengar sapaan balasan dari gadis bersurai cantik dengan warna kulit yang mirip dengannya, senyum Feli merekahㅡtak marah? Namun, masih harus ditelusuri lebih lanjut dan masih dituliskan dengan tanda tanya; tak tau juga. Langkah kaki sedikit terhenti ketika partner rapat-nya itu bertanya tentang kebenaran dari nama yang dimilikinya, sontak reaksi umum; anggukkan pelan diberikan sebagai bentuk reaksi cepat, mengingat sepertinya partner rapatnya ini sangat to the point dengan apa yang dikerjakannya. Dipersilahkan duduk, Feli duduk di hadapan gadis itu, tatapan mata yang tajam namun tak dingin itu memulai sesi perkenalan diri sebelum memasuki rapat. Pertama kali bertemu setidaknya harus saling menyapa dan saling memperkenalkan diri dulu bukan? Ya, itulah awal kegiatan rapat yang akan dimulai. Feli fokus mendengarkan perkenalan diri dari gadis yang duduk di hadapannya. Kembali matanya mengobservasi perilaku dan gaya bicara dari partner kerjanya itu. Bukan sih, Feli bukanlah lulusa psikologi tapi tetap harus mengenal lebih jauh gerak-gerik dari partner kerja agar setidaknya Feli bisa tahu bagaimana cara kerja yang harus dijalankannya dengan Jaeheeㅡbaru saja mengenal nama cantik ini. Feli kembali menarik ujung bibirnya lembut dan pelan dengan pandangan masih fokus masuk ke dalam bola mata hazel milik Jaehee. Tambahan anggukan diberikan Feli sebagai reaksi atas pertanyaan yang lebih tepatnya merupakan sebuah 'pernyataan' dari Jaehee. Feli yang tak suka berbelit-belit things menyukai sikap dan cara kerja yang cepat ditawarkan oleh gadis bernama Song Jaehee ini. Sepertinya mereka akan cocok, begitulah harapan yang hadir dalam permulaan rapat yang dibuka dengan singkat, jelas dan padat. Menarik, ini pertama kalinya Feli akan bekerjasama dengan ahli anestesi sekaligus dokter kardiovaskular. Apalagi pasien yang ditangani merupakan pasien langka. Ia bisa belajar sekaligus mencari pengalaman. "Aku sudah mendengar sedikit banyak dari CEO tentang pasien yang akan ditangani dan mohon bantuannya!" Seorang fresh graduate yang langsung jadi Head Team begitu saja tanpa pengalaman membuat Feli sangat-sangat membutuhkan bimbingan dan arahan dari Jaehee. Feli mendengarkan dengan fokus Jaehee menjelaskan isi dokumen.

<to be continued>

Saturday, September 19, 2015

138 ㅡ ♕ Savannah Johnson: Aku Mampu Memandang Musik.

"Ugh!" Gerutu seorang gadis kecil bertubuh mungil dengan ransel di pundak dan rok renda berwarna senada dengan sepatu ala princess miliknya. "Ruang musik.....harusnya di dekat sini" Senyum merekah dari sisi gadis yang penuh semangat ini ketika sebuah tekstur dinding yang sudah jelas terekam dalam otaknya menyentuh lembut tangan mungilnya. Dengan memegang tali ransel yang dibawanya, gadis ini mendorong pintu yang cukup besar ㅡ lebih besar jauh dari tinggi tubuhnyaㅡ menggunakan lengan sebelah kirinya. "Hua~" Bersikap seperti seseorang yang mampu memandang dunia, gadis cilik ini membuka mulutnya dan bersikap seolah menganggumi ruangan tersebut. "Kursi...kursi...." Segera gadis cilik ini mencari dimana letak kursi piano. "Ah!" Ditemukannya dalam sekali langkah. "Ini dia!" Merasa bangga dengan kehebatannya itu, gadis cilik ini langsung duduk dengan tenang. "Main lagu apa yah..." Sebentar gadis bernama Savannah ini bergumam halus, sendiri tanpa bersuara. Sebuah denting piano menghiasi kepalanya, ya ㅡ sebuah lagu yang akan dimainkannya. Pelan-pelan dengan penuh perasaan Savannah menarikan jemarinya di atas tuts piano yang tebal dan keras.

"Aahhhhhhhhhh!" Sebuah teriakan mengagetkan Savannah kecil yang tengah asik dalam dunianya. Sontak gadis ini mengerutkan jemarinya, kening pun dikerutkan bagai nenek-nenek yang sedang berfikir. Bagi orang yang mampu memandang dunia, mereka dapat langsung mengetahui titik asal suara tersebut. Tapi bagi Savannah kecil, ia harus memfungsingkan 2x lipat indranya dengan tajam. 'Apa ini.....siapa....' Takut, gusar, gadis ini ketakutan dalam diam.

Gadis ini turun dari kursi tinggi piano dan berteriak, "Siapa di sana....? siapa?" Gemetar, meskipun tak getir. Savannah terus bertanya siapa di sana, nada bertanya mulai bercampur nada tangis. "Si-siapa?" Takut. "Aku tak mampu melihat, aku tak tau siapa di sana.." Gemetar hebat, nada suara gadis cilik ini menyentuh dada "Siapa....di...sana.."

Beberapa suara yang dikenalnya memasuki ruangan, sontak Savannah memutar kepalanya mencari celah titik di mana ia harus melangkah mendekati seseorang itu. Anggukkan ditunjukkan Savannah ketika jelas mendengar siapa pemilik suara teriakan itu, siapa dia. Kedua kaki kecil milik Savannah melangkah pelan, menghampiri gadis yang telah menginspirasinya untuk bermain piano. Senyum yang tak dimengertinya sampai atau tidak kepada idola pianonya itu, Savannah menggengam erat tangan gadis yang sudah jelas lebih tua darinya dengan tatapan kosong dan senyuman yang masih terus di sana.

Wednesday, September 16, 2015

137 ㅡ ♕ Dr. Naho: Code Blue.


"Code Blue! Code Blue!"
"Cepat! Cepat bawa dia!"
"CEPAT KESINI!"

Langit gelap. Angin tak berhembus. Tak begitu berhembus, keringat bercucuran dari puncak kepala hingga badan menjadi basah seperti habis mandi.

• • • • • Tokyo Capital Hospital • • • •

Unit Gawat Darurat sedang dibanjiri pasien-pasien yang mendadak berdatangan.

Ada apa ini? Apa yang terjadi?

Kecelakaan terjadi.

UGD dibanjiri pasien-pasien dan malam itu hanya ada 2 dokter jaga dengan dibantu oleh 4 intern yang masih training serta beberapa perawat.

"Cepat telepon Dokter Naho!" Perintah seorang kepala dokter jaga kepada pemuda yang tak lain adalah seorang intern.

"Ba-Baik!"

Panggilan dilakukan intern itu langsung setelah diperintahkan.

"Oh? Apa?" Suara melengking dengan malas-malasan terdengar dari ujung telepon.

"Dok... code blue dok!" Dengan suara yang sedikit gagap dan terbata-bata, pemuda itu meminta Naho untuk datang ke rumah sakit.

Gadis yang berada di umur sekitar 20-an sedang asik berguling-guling di ranjangnya, beristirahat saat ponsel yang selalu dibiarkannya menyala itu berdering kencang. Sudah pasti menganggu waktu tidurnya. Ditambah lagi waktu menunjukkan pukul 02:26 AM. Subuh. Dokter yang dipanggil Naho itu adalah seorang profesor muda yang tak lain adalah satu-satunya penerus Tokyo Capital Hospital nantinya. Seperti air dingin bekas lelehan es batu yang menyiram wajah Naho, matanya terbuka lebar mendengar kata "code blue".

"Baiklah!" Tanpa basa-basi dan pikir panjang, Naho segera mematikan panggilan darurat itu. Bergegas ia mengambil jas putih dokternya dan segera menginjak pedal gas saat sudah berada di dalam mobil sport miliknya.

Gawat darurat, ini gawat. Code Blue Alert.

Tak pindah dari pedal gas ke pedal rem, mobil milik Naho melaju kencang di jalan tol. Mantan pembalap, sih. Jalanan juga sangat sepi. Terima kasih kepada keahlian Naho mengendarai mobil, ia tak menghabiskan waktu yang lama untuk sampai di rumah sakit.

Hiruk-pikuk UGD sudah terasa, meski baru sampai di depan pintu rumah sakit. Dengan sigap dan cepat Naho berlari ke UGD setelah parkir.

"Dok! dok, ke sini dok!" Seorang intern yang tadi menelepon Naho sudah berjaga di depan pintu UGD untuk segera menuntunnya ke pasien. Naho segera mengikuti intern itu yang dengan terburu-buru berlari.

Seorang wanita di umur yang kurang lebih tiga puluh tahun terkapar di atas ranjang dingin ber-roda itu, dikelilingi oleh beberapa perawat yang tak tahu harus berbuat apa.

Kakinya kejang-kejang. Sebelah kiri.

Insting Naho bekerja dengan hebat malam itu.

Sesak di dada? Ya. Naho mencatat segala bentuk simtoma yang dilihatnya dalam otak.

Melas Syndrome.

Pertolongan pertama harus dilakukan jika tidak wanita itu dapat tak terselamatkan.
Naho dengan sigap memijat kaki kiri wanita itu. Carotid Massage juga dilakukan Naho dengan memijat pelan di bagian leher wanita itu. Tak ada jeritan kesakitan namun napas yang tersengal menjadi halangan. Pijitan untuk kaki dan leher terus dilakukan Naho dan saat itu sebuah teriakan kencang membuat tercengang.

"ITU BERBAHAYA!" Teriakan melengking yang sangat membuat Naho malu itu, menghantam kepalanya tepat di otak kiri dan kanan.

Jun berumur lebih muda dari Naho beberapa tahun. Ia juga adalah seorang profesor muda yang lulus sangat cepat sama seperti Naho. Namun, bagi orang awam di antara Naho dan Jun, pasti akan menganggap Dokter Jun lebih pintar karena ia lebih muda, namun dapat lulus kuliah dengan cepat. Bergelar profesor pula.

"LEPASKAN DIA DOKTER NAHO!" Dr. Jun semakin berteriak.

"Ini berbahaya! kau mau mengambil resiko ini?" Dr. Jun berusaha menarik tangan Naho yang sedang memberikan pertolongan pertama.

Naho memberikan tatapan tak peduli kepada Jun yang ingin ikut campur. Ia tetap saja melakukan pijatan lembut, tak perduli.

"Maaf, Dr. Jun...." Seorang intern menarik tangan Jun agar lelaki itu menjauh dari Naho yang sedang berusaha menyelamatkan pasien.

"Lepaskan aku! Lepas tidak!?" Dr. Jun meronta-ronta ingin dilepaskan oleh intern yang sangat membela Naho itu. "YA!"

"Ayuzawa Naho! Kau yakin?" Dr. Jun terus menerus mempertanyakan keyakinan Naho dalam hal ini. Namun, kembali lagi Naho tetap tak peduli dan hanya fokus pada kondisi wanita yang ada di depan matanya. Dr. Jun bergeming dan menatap Naho dengan pandangan yakin tak yakin.

"Ini tak bagus....." Naho bergumam pelan dengan dahi yang berkerut saat melihat sepertinya kondisi wanita itu tak baik dan harus diberikan pertolongan kedua, pertolongan lain.

"ES!!! ES! CARI ES!" Naho berteriak kepada perawat dan intern-intern yang ada disana.

"Bongkahan es! CEPAT! GERAK CEPAAAAAAAT!" Naho masih memijat lembut kaki dan leher wanita itu dengan segala kemampuannya.

"Ini, dokter!" Seorang perawat membawakan Naho sebuah bongkahan es. Dengan sigap, gadis itu melepas jas putih kedokteran miliknya, meletakkan bongkahan itu di atasnya dan menjadikan bongkahan itu terbungkus oleh jas putih. Bongkahan es yang sudah terbungkus dengan jas itu diletakkan di bagian yang sedari tadi dipijatnya; leher dan kaki kiri. Tak lama kemudian setelah beberapa kali dilakukan, napas wanita itu tampak sedikit stabil dan matanya sudah terbuka meskipun hanya sedikit. Ya, sudah sadarkan diri. Perawat yang menyaksikan kejadian itu segera menanyakan nama, pekerjaan dan tempat tinggal wanita itu sebagai bukti apakah sudah benar-benar sadarkan diri.
Ayuzawa Naho menghela napas.

Napas panjang yang menandakan setidaknya pertolongan pertamanya bagi pasien penderita Melas Syndrome itu bisa dilakukan dengan maksimal. Sang intern yang memegang tangan Dr. Jun tadi lengah, Jun segera mendekati Naho dan mendorongnya menjauh dari ranjang dorong pasien.

"Operasinya biar aku yang lakukan." Tatapan sinis dipantulkan dokter muda itu kepada Naho bagai laser panas.

"Minggir?" Sarkastik, sialan. Umpat Naho tanpa banyak bicara. Mengumpat dalam hati, tak begitu berdosa bukan.

Naho mengangkat tangannya di depan dada, memberikan kesan silakan kepada Jun yang senang sekali mencampuri urusan orang.

Untung Naho bukan tipe pribadi yang akan kesal jika pasiennya diserobot. Ia hanya ingin pasien-pasien yang datang ke Tokyo Capital Hospital sembuh dan diberikan perawatan yang baik. Bila Jun ingin mengambil alih pasiennya, lebih baik lagi. Kenapa? Naho bisa santai. Jun masih terus menyoroti laser kepada Naho sebelum mendorong ranjang dorong pasien Melas Syndrome itu ke dalam ruang operasi.

Tak banyak bicara, begitulah seorang Ayuzawa Naho.

"Good job Dr. Naho!" Perawat-perawat yang sedari tadi membantu jalannya pertolongan bagi pasien itu setidaknya bisa sedikit kembali bernapas lagi karena bukti keberhasilan sudah ada. Naho hanya membalas mereka dengan senyuman.

"Fiuh..." Intern yang tadi menelepon Naho seperti meminta bantuan karena dikejar anjing gila itu akhirnya bisa sama-sama bernapas kembali.

"Good job Hana!" Naho menepuk pundak intern muda ituㅡyang tersenyum lega. "Terima kasih sudah berani mengganggu jam tidurku."

"Err... dokter, maafkan aku." Hana membungkukkan badannya 90 derajat, takut diberi nilai nol untuk evaluasi praktek kerjanya.

"Ah...tidak-tidak, maksudku terima kasih sudah mengangguku dan membantu menyelamatkan pasien." Naho yang selalu kikuk pun menjadi bingung dibuat reaksi Hana. Ia tak begitu pintar menyampaikan perasaan. Ia sangat berterimakasih pada intern yang sigap itu, tapi apa daya diri susah menunjukkannya.

Mendengar kasak-kusuk di sudut ruangan tempat Naho dan beberapa intern serta perawat berkumpul menangani pasien tadi, satu-dua intern baru berdatangan.

"Kau menangani kasus apa..?" Bisik intern yang baru datang mendekat itu pada teman intern yang lain.

"Melas Syndrome." Jawab intern yang tadi dipanggil Hana itu oleh Naho. "Dr. Naho yang menanganinya." Tambahnya.

Buku dan pena terlihat berada di genggaman para intern yang bila dihitung banyaknya sudah seperti mau main sepak bola. Mereka mengitari Naho, berharap profesor muda yang tak lain adalah tutor mereka itu memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai Melas Syndrome.

"Melas Syndrome adalah masalah genetik yang mempengaruhi otak, saraf dan otot disertai dengan kejang-kejang." Naho mulai berbicara. "Kejang-kejang itu sangat berbahaya bagi pasien, sehingga kejangnya harus segera dihentikan." Lanjut Naho berlagak seperti mentor, meskipun ia memang mentor.

"Lalu, bagaimana cara menghentikan itu? Apalagi jika pasien sudah tak sadarkan diri? Bagaimana cara memulihkan kesadaranya?" Memberi jeda singkat, "Carotid Massage." Pertanyaan yang ia lemparkan, ia jawab sendiri. Tak apa, ini bentuk cara mengajar. "Pijatan karotid di leher yang mana mengenai harus saraf." Jelasnya kembali. "Itu adalah bentuk pertolongan pertama dan kesembuhan serta selanjutnya bagaimana, kalian bisa menghubungi Dr. Jun yang sedang melakukan operasi bagi pasien itu. Terimakasih." Naho tersenyum pahit sebelum melangkahkan kakinya keluar dari kerumunan intern yang seperti ingin mengeroyoknya.

"Dr. Naho, aku ingin bertanya" Seorang intern muda bergender perempuan berambut pendek dan tak begitu tinggi menghalau Naho dari pikiran ingin keluar dari gerombolan intern itu dengan sepotong kalimat pendek, namun tentu saja tak akan dibiarkan lewat begitu saja oleh Naho.

"Ya, silakan." Naho mengurungkan niatnya untuk kabur.

"Sebelum ke sini, Dr. Jum mengatakan pada para suster dan intern yang lain bahwa ini adalah kasus PSVT karena denyut jantung yang dimiliki pasien berdetak cepat. Apakah benar? Apakah ini Melas Syndrome ataukah PSVT?" Pertanyaan yang akan membuat dirinya dan Dr. Jun kembali adu bicara, meskipun Jun yang akan sibuk berbicara dan Naho hanya akan menjawab dalam hatinya saja.

"Tadi Dr. Jun juga mengatakan bahwa tak semua pasien yang pingsan terserang Melas Syndrome." Tambah seorang intern yang tadi baru saja datang bersama intern yang melemparkan pertanyaan itu. Oke, kedua intern ini sangat pro kepada Jun. Pertanyaan yang akan menjatuhkan Naho. Mungkin.

"Dokter biasa pasti akan mendiagnosa wanita itu dengan PSVT, tapi aku bukan dokter biasa." Naho angkat bicara, masih saja tenang.

"Bagaimana Dr. Naho tahu bahwa itu adalah Melas Syndrome dalam sekali pandang?" Beberapa intern mulai sibuk mencatat dan bertanya.

"Karena kalian dokter magang, aku akan memberikan tugas untuk kalian." Sebenarnya, rasa keinginan untuk menyuruh Jun yang sok tahu itu mendengar dan ikut mengerjakan tugas sangat besar. Ingin sekali rasanya menyuruh lelaki itu mengumpulkan simtoma Melas Syndrome dan menyuruhnya mempelajari ulang sebelum menghantam Naho dengan teriakan nan nyaring yang beberapa menit lalu dilakukannya.

"Silakan kalian mencari tahu sendiri apa itu Melas Syndrome." Ucapnya sambil mengeja kembali nama sindrom itu, M-E-L-A-S sebelum berlalu.

"Bagaimana jika wanita itu tak mengalami sindrom Melas?" Lagi-lagi sang intern yang sangat pro kepada tim Dr. Jun ingin menjatuhkan Naho.

"Sudah pasti Melas Syndrome, kalau hasil diagnosa sudah keluar, secepatnya harus hubungi aku, siapapun yang tak yakin dengan diagnosaku..." Naho berhenti sejenak, berpikir apa yang harus dimintanya oleh beberapa intern di hadapan yang terlihat meragukan diagnosa yang dikatakannya barusan. "Siapapun yang salah, yang mana meragukan diagnosaku, maka ia harus mentraktir makan." Naho berakhir menantang mereka. "Deal?"

"Oh iya!" Tambahnya "Sepertinya kalian juga harus mengajak Dr. Jun untuk belajar bersama." Dengan tersenyum, ia menambahkan. "Banyak yang harus dimengerti junior yang satu itu tentang Melas Syndrome dan PSVT." Kalimat terakhir yang dikatakannya membuat dirinya lega sudah mengatakan hal itu.

Akhirnya bisa mengatakan isi hati, Naho yakin ia akan tidur nyenyak malam itu. Ralat, pagi itu. Waktu menunjukkan pukul 05:25 AM KST. Setelah mengatakan hal semuanya, Naho mundur dan keluar dari kerumunan intern yang masih terlihat bingung. Cobalah tanya pada Jun dan lihat bagaimana lelaki itu akan menyesali perkataannya di depan para intern nanti. Ayuzawa Naho yang terlihat mengenakan kemeja putih dan celana panjang bahan, tanpa mengenakkan jas putih dokter terlalu ke ruangan kantornya yang terletak di lantai dua. Ia lalu pergi beristirahat.