Wednesday, September 16, 2015

137 ㅡ ♕ Dr. Naho: Code Blue.


"Code Blue! Code Blue!"
"Cepat! Cepat bawa dia!"
"CEPAT KESINI!"

Langit gelap. Angin tak berhembus. Tak begitu berhembus, keringat bercucuran dari puncak kepala hingga badan menjadi basah seperti habis mandi.

• • • • • Tokyo Capital Hospital • • • •

Unit Gawat Darurat sedang dibanjiri pasien-pasien yang mendadak berdatangan.

Ada apa ini? Apa yang terjadi?

Kecelakaan terjadi.

UGD dibanjiri pasien-pasien dan malam itu hanya ada 2 dokter jaga dengan dibantu oleh 4 intern yang masih training serta beberapa perawat.

"Cepat telepon Dokter Naho!" Perintah seorang kepala dokter jaga kepada pemuda yang tak lain adalah seorang intern.

"Ba-Baik!"

Panggilan dilakukan intern itu langsung setelah diperintahkan.

"Oh? Apa?" Suara melengking dengan malas-malasan terdengar dari ujung telepon.

"Dok... code blue dok!" Dengan suara yang sedikit gagap dan terbata-bata, pemuda itu meminta Naho untuk datang ke rumah sakit.

Gadis yang berada di umur sekitar 20-an sedang asik berguling-guling di ranjangnya, beristirahat saat ponsel yang selalu dibiarkannya menyala itu berdering kencang. Sudah pasti menganggu waktu tidurnya. Ditambah lagi waktu menunjukkan pukul 02:26 AM. Subuh. Dokter yang dipanggil Naho itu adalah seorang profesor muda yang tak lain adalah satu-satunya penerus Tokyo Capital Hospital nantinya. Seperti air dingin bekas lelehan es batu yang menyiram wajah Naho, matanya terbuka lebar mendengar kata "code blue".

"Baiklah!" Tanpa basa-basi dan pikir panjang, Naho segera mematikan panggilan darurat itu. Bergegas ia mengambil jas putih dokternya dan segera menginjak pedal gas saat sudah berada di dalam mobil sport miliknya.

Gawat darurat, ini gawat. Code Blue Alert.

Tak pindah dari pedal gas ke pedal rem, mobil milik Naho melaju kencang di jalan tol. Mantan pembalap, sih. Jalanan juga sangat sepi. Terima kasih kepada keahlian Naho mengendarai mobil, ia tak menghabiskan waktu yang lama untuk sampai di rumah sakit.

Hiruk-pikuk UGD sudah terasa, meski baru sampai di depan pintu rumah sakit. Dengan sigap dan cepat Naho berlari ke UGD setelah parkir.

"Dok! dok, ke sini dok!" Seorang intern yang tadi menelepon Naho sudah berjaga di depan pintu UGD untuk segera menuntunnya ke pasien. Naho segera mengikuti intern itu yang dengan terburu-buru berlari.

Seorang wanita di umur yang kurang lebih tiga puluh tahun terkapar di atas ranjang dingin ber-roda itu, dikelilingi oleh beberapa perawat yang tak tahu harus berbuat apa.

Kakinya kejang-kejang. Sebelah kiri.

Insting Naho bekerja dengan hebat malam itu.

Sesak di dada? Ya. Naho mencatat segala bentuk simtoma yang dilihatnya dalam otak.

Melas Syndrome.

Pertolongan pertama harus dilakukan jika tidak wanita itu dapat tak terselamatkan.
Naho dengan sigap memijat kaki kiri wanita itu. Carotid Massage juga dilakukan Naho dengan memijat pelan di bagian leher wanita itu. Tak ada jeritan kesakitan namun napas yang tersengal menjadi halangan. Pijitan untuk kaki dan leher terus dilakukan Naho dan saat itu sebuah teriakan kencang membuat tercengang.

"ITU BERBAHAYA!" Teriakan melengking yang sangat membuat Naho malu itu, menghantam kepalanya tepat di otak kiri dan kanan.

Jun berumur lebih muda dari Naho beberapa tahun. Ia juga adalah seorang profesor muda yang lulus sangat cepat sama seperti Naho. Namun, bagi orang awam di antara Naho dan Jun, pasti akan menganggap Dokter Jun lebih pintar karena ia lebih muda, namun dapat lulus kuliah dengan cepat. Bergelar profesor pula.

"LEPASKAN DIA DOKTER NAHO!" Dr. Jun semakin berteriak.

"Ini berbahaya! kau mau mengambil resiko ini?" Dr. Jun berusaha menarik tangan Naho yang sedang memberikan pertolongan pertama.

Naho memberikan tatapan tak peduli kepada Jun yang ingin ikut campur. Ia tetap saja melakukan pijatan lembut, tak perduli.

"Maaf, Dr. Jun...." Seorang intern menarik tangan Jun agar lelaki itu menjauh dari Naho yang sedang berusaha menyelamatkan pasien.

"Lepaskan aku! Lepas tidak!?" Dr. Jun meronta-ronta ingin dilepaskan oleh intern yang sangat membela Naho itu. "YA!"

"Ayuzawa Naho! Kau yakin?" Dr. Jun terus menerus mempertanyakan keyakinan Naho dalam hal ini. Namun, kembali lagi Naho tetap tak peduli dan hanya fokus pada kondisi wanita yang ada di depan matanya. Dr. Jun bergeming dan menatap Naho dengan pandangan yakin tak yakin.

"Ini tak bagus....." Naho bergumam pelan dengan dahi yang berkerut saat melihat sepertinya kondisi wanita itu tak baik dan harus diberikan pertolongan kedua, pertolongan lain.

"ES!!! ES! CARI ES!" Naho berteriak kepada perawat dan intern-intern yang ada disana.

"Bongkahan es! CEPAT! GERAK CEPAAAAAAAT!" Naho masih memijat lembut kaki dan leher wanita itu dengan segala kemampuannya.

"Ini, dokter!" Seorang perawat membawakan Naho sebuah bongkahan es. Dengan sigap, gadis itu melepas jas putih kedokteran miliknya, meletakkan bongkahan itu di atasnya dan menjadikan bongkahan itu terbungkus oleh jas putih. Bongkahan es yang sudah terbungkus dengan jas itu diletakkan di bagian yang sedari tadi dipijatnya; leher dan kaki kiri. Tak lama kemudian setelah beberapa kali dilakukan, napas wanita itu tampak sedikit stabil dan matanya sudah terbuka meskipun hanya sedikit. Ya, sudah sadarkan diri. Perawat yang menyaksikan kejadian itu segera menanyakan nama, pekerjaan dan tempat tinggal wanita itu sebagai bukti apakah sudah benar-benar sadarkan diri.
Ayuzawa Naho menghela napas.

Napas panjang yang menandakan setidaknya pertolongan pertamanya bagi pasien penderita Melas Syndrome itu bisa dilakukan dengan maksimal. Sang intern yang memegang tangan Dr. Jun tadi lengah, Jun segera mendekati Naho dan mendorongnya menjauh dari ranjang dorong pasien.

"Operasinya biar aku yang lakukan." Tatapan sinis dipantulkan dokter muda itu kepada Naho bagai laser panas.

"Minggir?" Sarkastik, sialan. Umpat Naho tanpa banyak bicara. Mengumpat dalam hati, tak begitu berdosa bukan.

Naho mengangkat tangannya di depan dada, memberikan kesan silakan kepada Jun yang senang sekali mencampuri urusan orang.

Untung Naho bukan tipe pribadi yang akan kesal jika pasiennya diserobot. Ia hanya ingin pasien-pasien yang datang ke Tokyo Capital Hospital sembuh dan diberikan perawatan yang baik. Bila Jun ingin mengambil alih pasiennya, lebih baik lagi. Kenapa? Naho bisa santai. Jun masih terus menyoroti laser kepada Naho sebelum mendorong ranjang dorong pasien Melas Syndrome itu ke dalam ruang operasi.

Tak banyak bicara, begitulah seorang Ayuzawa Naho.

"Good job Dr. Naho!" Perawat-perawat yang sedari tadi membantu jalannya pertolongan bagi pasien itu setidaknya bisa sedikit kembali bernapas lagi karena bukti keberhasilan sudah ada. Naho hanya membalas mereka dengan senyuman.

"Fiuh..." Intern yang tadi menelepon Naho seperti meminta bantuan karena dikejar anjing gila itu akhirnya bisa sama-sama bernapas kembali.

"Good job Hana!" Naho menepuk pundak intern muda ituㅡyang tersenyum lega. "Terima kasih sudah berani mengganggu jam tidurku."

"Err... dokter, maafkan aku." Hana membungkukkan badannya 90 derajat, takut diberi nilai nol untuk evaluasi praktek kerjanya.

"Ah...tidak-tidak, maksudku terima kasih sudah mengangguku dan membantu menyelamatkan pasien." Naho yang selalu kikuk pun menjadi bingung dibuat reaksi Hana. Ia tak begitu pintar menyampaikan perasaan. Ia sangat berterimakasih pada intern yang sigap itu, tapi apa daya diri susah menunjukkannya.

Mendengar kasak-kusuk di sudut ruangan tempat Naho dan beberapa intern serta perawat berkumpul menangani pasien tadi, satu-dua intern baru berdatangan.

"Kau menangani kasus apa..?" Bisik intern yang baru datang mendekat itu pada teman intern yang lain.

"Melas Syndrome." Jawab intern yang tadi dipanggil Hana itu oleh Naho. "Dr. Naho yang menanganinya." Tambahnya.

Buku dan pena terlihat berada di genggaman para intern yang bila dihitung banyaknya sudah seperti mau main sepak bola. Mereka mengitari Naho, berharap profesor muda yang tak lain adalah tutor mereka itu memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai Melas Syndrome.

"Melas Syndrome adalah masalah genetik yang mempengaruhi otak, saraf dan otot disertai dengan kejang-kejang." Naho mulai berbicara. "Kejang-kejang itu sangat berbahaya bagi pasien, sehingga kejangnya harus segera dihentikan." Lanjut Naho berlagak seperti mentor, meskipun ia memang mentor.

"Lalu, bagaimana cara menghentikan itu? Apalagi jika pasien sudah tak sadarkan diri? Bagaimana cara memulihkan kesadaranya?" Memberi jeda singkat, "Carotid Massage." Pertanyaan yang ia lemparkan, ia jawab sendiri. Tak apa, ini bentuk cara mengajar. "Pijatan karotid di leher yang mana mengenai harus saraf." Jelasnya kembali. "Itu adalah bentuk pertolongan pertama dan kesembuhan serta selanjutnya bagaimana, kalian bisa menghubungi Dr. Jun yang sedang melakukan operasi bagi pasien itu. Terimakasih." Naho tersenyum pahit sebelum melangkahkan kakinya keluar dari kerumunan intern yang seperti ingin mengeroyoknya.

"Dr. Naho, aku ingin bertanya" Seorang intern muda bergender perempuan berambut pendek dan tak begitu tinggi menghalau Naho dari pikiran ingin keluar dari gerombolan intern itu dengan sepotong kalimat pendek, namun tentu saja tak akan dibiarkan lewat begitu saja oleh Naho.

"Ya, silakan." Naho mengurungkan niatnya untuk kabur.

"Sebelum ke sini, Dr. Jum mengatakan pada para suster dan intern yang lain bahwa ini adalah kasus PSVT karena denyut jantung yang dimiliki pasien berdetak cepat. Apakah benar? Apakah ini Melas Syndrome ataukah PSVT?" Pertanyaan yang akan membuat dirinya dan Dr. Jun kembali adu bicara, meskipun Jun yang akan sibuk berbicara dan Naho hanya akan menjawab dalam hatinya saja.

"Tadi Dr. Jun juga mengatakan bahwa tak semua pasien yang pingsan terserang Melas Syndrome." Tambah seorang intern yang tadi baru saja datang bersama intern yang melemparkan pertanyaan itu. Oke, kedua intern ini sangat pro kepada Jun. Pertanyaan yang akan menjatuhkan Naho. Mungkin.

"Dokter biasa pasti akan mendiagnosa wanita itu dengan PSVT, tapi aku bukan dokter biasa." Naho angkat bicara, masih saja tenang.

"Bagaimana Dr. Naho tahu bahwa itu adalah Melas Syndrome dalam sekali pandang?" Beberapa intern mulai sibuk mencatat dan bertanya.

"Karena kalian dokter magang, aku akan memberikan tugas untuk kalian." Sebenarnya, rasa keinginan untuk menyuruh Jun yang sok tahu itu mendengar dan ikut mengerjakan tugas sangat besar. Ingin sekali rasanya menyuruh lelaki itu mengumpulkan simtoma Melas Syndrome dan menyuruhnya mempelajari ulang sebelum menghantam Naho dengan teriakan nan nyaring yang beberapa menit lalu dilakukannya.

"Silakan kalian mencari tahu sendiri apa itu Melas Syndrome." Ucapnya sambil mengeja kembali nama sindrom itu, M-E-L-A-S sebelum berlalu.

"Bagaimana jika wanita itu tak mengalami sindrom Melas?" Lagi-lagi sang intern yang sangat pro kepada tim Dr. Jun ingin menjatuhkan Naho.

"Sudah pasti Melas Syndrome, kalau hasil diagnosa sudah keluar, secepatnya harus hubungi aku, siapapun yang tak yakin dengan diagnosaku..." Naho berhenti sejenak, berpikir apa yang harus dimintanya oleh beberapa intern di hadapan yang terlihat meragukan diagnosa yang dikatakannya barusan. "Siapapun yang salah, yang mana meragukan diagnosaku, maka ia harus mentraktir makan." Naho berakhir menantang mereka. "Deal?"

"Oh iya!" Tambahnya "Sepertinya kalian juga harus mengajak Dr. Jun untuk belajar bersama." Dengan tersenyum, ia menambahkan. "Banyak yang harus dimengerti junior yang satu itu tentang Melas Syndrome dan PSVT." Kalimat terakhir yang dikatakannya membuat dirinya lega sudah mengatakan hal itu.

Akhirnya bisa mengatakan isi hati, Naho yakin ia akan tidur nyenyak malam itu. Ralat, pagi itu. Waktu menunjukkan pukul 05:25 AM KST. Setelah mengatakan hal semuanya, Naho mundur dan keluar dari kerumunan intern yang masih terlihat bingung. Cobalah tanya pada Jun dan lihat bagaimana lelaki itu akan menyesali perkataannya di depan para intern nanti. Ayuzawa Naho yang terlihat mengenakan kemeja putih dan celana panjang bahan, tanpa mengenakkan jas putih dokter terlalu ke ruangan kantornya yang terletak di lantai dua. Ia lalu pergi beristirahat.

No comments:

Post a Comment

감사합니다