Sunday, August 26, 2018

288 ㅡ ♕ Lantas, untuk apa aku tetap mengukir kisah dengan mampir yang berulang kali kujadikan hampir?

MAMPIR ☓ HAMPIR: TERAKHIR
Aku, menyatakan kehilangan, kepergian, dan berpulangnya hati ke tempat semula
Ditulis oleh Vanny | 606 kata

Terakhir kalinya,
aku mengulum senyum,
menebar harum,
berharap kau maklum,
karena,
melalui bibir ranum,
aku berkata,
tak akan lagi tersenyum.





Aku rindu dia;
yang selalu membuatku penuh tanya,
yang bahagia tanpa aku di sisinya,
yang tak menjadikanku kesayangannya.

Bintang di langit;
sampaikan salamku padanya,
bisakah kau menjaganya,
karena aku akan berhenti untuk selamanya.


Di sebuah kedai, dengan secangkir kopi, sang puan ditemani sunyi. Puluhan persona berjalan ke sana kemari demi mencari sebuah tempat yang nyaman ditinggali. Berbeda dari mereka, aku menatap keluar jendela, menghela napas berat, mengusap kembali hati yang teramat rapat, memanggilmu dengan bahasa isyarat, berharap kau mampu merasakan kerinduanku yang tersirat. 






Aku berdiri;
di tengah keramaian,
tak berusaha mencari aman,
hanya ingin menemukan kedamaian.

Aku berada;
di lingkungan yang riskan,
merasa tersingkirkan,
karena tidak dipedulikan.


Melalui mata, aku mencoba mengeluarkan suara, walau paham betul, tak mungkin sampai ke sana. Melalui tarikan napas, aku menghempas keraguan, menyuarakan keputusan, tak akan lagi dilingkupi tangisan. Melalui hati yang mulai tertutup, aku menutup segala kemungkinan, tak berusaha menginginkan, pun tak akan menyulitkan. Semua sudah kujadikan putusan, walau masih berniat melepas tanya, tentang kau dan hiruk pikuk kota, di manakah engkau gerangan, di saat aku cemas kau berada di titik mengkhawatirkan? Tak usah bertanya, siapakah aku ini, yang hanya berdiri di sini, mana mampu menemani, dirimu yang bahkan tak ingin ditemani? Aku, menyatakan kehilangan, kepergian, dan berpulangnya hati ke tempat semula. Aku sudah memulai, tetapi tak sesuai. Bukan membuai, malah terbuai. Alhasil, aku tak akan berpegang lagi padamu yang entah berniat menjaga, atau hanya mencoba. 


Tetapi;
ini menyenangkan,
juga menyedihkan,
biar jadi pengalaman.

Maka;
tak lagi memanggil sayang,
hanya ingin mencipta kenang,
berusaha mengubah masa tayang.


Aku teringat. Kala itu, kau datang, hanya bertandang, berniat menyambang, merasa tak butuh tambang, tak ada maksud memiliki lambang telah berhasil datang. Aku bernyanyi dengan suara sumbang, yang kuyakini bisa membuatmu terbang, tetapi malah menyisakan lubang, di hati terdalam, hanya karena sebuah salam. Aku yang terlalu suka hingga lupa, kau bisa saja membawa luka, pada akhirnya. Maka dari itu, aku tak akan lagi merasa butuh dan mengeluh, bila kau tak luluh, karena aku yang melulu merasa perlu untuk mengabarkanmu. Tentangku yang tak pernah terbesit dalam pikiranmu, tentangku yang tak juga hadir dalam mimpimu, tentangku yang tak mampu membuatmu ingin mengunjungiku, biar itu kau simpan dalam kotak kenangan, karena aku tak akan lagi berpegangan, pada sebuah kepalsuan akan kasih yang mungkin kau berikan.



Aku;
ditemani sepi,
dilingkupi sunyi,
seorang diri.

Aku;
berada di keramaian,
tinggal aku sendirian,
sebab kau bepergian.


Waktu untuk melepasmu sudah mampir, karena sejak awal memang hanya hampir, tetapi kali ini, yang terakhir. Meski aku menggebu, kau menempatkanku dalam kelabu, dan tak berniat berlabuh. Lantas, untuk apa aku tetap mengukir kisah dengan mampir yang berulang kali kujadikan hampir? Tak ingin kupaksakan, memang tak bisa mengatakan, tetapi aku akan meluruskan. Aku bukan perempuan, yang bisa memanggilmu tuan, hanya karena kau berikan umpan. Aku tidak sama seperti mereka, yang bisa menerka, apakah engkau suka. Aku tahu butuh waktu, tetapi bukan berarti, mencariku hanya karena butuh. Aku tidak sempurna, tak secantik purnama, tetapi aku punya nama, yang bisa menunggumu lama, bila kau berhati sama. 


Harum kopi menguar,
memanggilku keluar,
agar pikiranku tak lagi liar,
karena mataku berpendar,
mencari dia yang tanpa sadar,
menempatkanku di luar radar.

Pahit seperti kopi,
perihnya hati,
yang tak sengaja tersakiti,
oleh dia yang hanya meneliti,
bukan ingin menempati,
dan tak minat untuk berjanji.


Hanya itu yang aku punya. Tak ingin lagi dimanja, semua hanya pura-pura, menggunakan permainan kata. Iya, bukan? Oleh karena itu, sudahi saja. Selamat tinggal, lembayung senja.

No comments:

Post a Comment

감사합니다