Friday, August 3, 2018

265 ㅡ ♕ Langit pernah bercerita padaku tentang rindu menggebu yang menjadikannya hujan.

Kemarin, aku menghadap masa depanmu, berharap mewarnai sedikit demi sedikit kertas putihmu, merangkul dingin tuturmu, berdoa agar aku mampu membuatmu tersipu, meski palsu. Di situ, aku tak pernah mau pergi, merangkai bunga penuh kasih agar setidaknya tamanmu tak kembali layu. Aku tak pernah sanggup melihatmu menangis sendiri walaupun dalam hati, sebab langit pernah bercerita padaku tentang rindu menggebu yang menjadikannya hujan. Aku mencoba memelukmu, merengek bak anak kecil meminta permen kepada sang ibu. Rupanya, tangisan ini tak mampu menahanmu. Ia meninggalkan kenangan-kenangan yang hanya bisa kubenci. Aku mencoba menatap matamu. Akankah ia kembali pada rayuku? Atau ke masa lalu? Atau ke rumah lain justru?

Kau adalah tanah lapang di padang gersang. Aku berjalan di atasnya, menunggu badai menyelimuti tubuh rentanku. Selanjutnya, rambutmu adalah hal yang paling kubenci setelah waktu. Sebab di situ kau menaruh banyak tanda tanya yang hanya bisa kujawab sendiri dengan menerka-nerka tentu saja. Kau datang ke setiap mimpiku, setiap waktu dalam satu minggu, menggerogoti tembok yang aku bangun setelah kau pergi kala itu. Kau melepasku, lalu bayangmu mengikuti tak kenal malu. Aku tak sanggup lagi mengemis padamu, hanya demi berlomba memenangkan piala perunggu. Aku mau menjadi yang kesatu, kasihku. Tetapi, aku kerap kali takut kembali menahanmu, walaupun rindu terkadang menjemput di sela-sela napasku. Esok hari, aku mencoba kembali menunggu. Lalu kau membunuh bayanganku dan berpura-pura menyelamatkanku.

Teruntuk orang-orang yang merasa kehilangan dan sulit untuk melupakan,
Kau tidak pernah sendirian.

Transkrip: Menjadi Manusia, Perihal Waktu.


No comments:

Post a Comment

감사합니다