Friday, August 24, 2018

286 ㅡ ♕ Apakah itu arti kebahagiaan? Tentang perasaan, pengabdian, penghargaan, kebebasan, atau harapan?

SONG JINHEE ☓ SONG JAEHEE
Life hurts a lot, so please burn my sad days
Written by Vanny | 1,106 words


Tidak membandingkan, 
pun tidak ditulis demi mencari hidup siapa yang lebih menyedihkan.
Murni hanya ingin mengetahui, 
siapa yang lebih banyak berjuang, 
memperjuangkan kebahagiaan yang mereka katakan ada,
 tetapi sebenarnya di mana?



Ini adalah sebuah kisah dua saudara: Jinhee dan Jaehee.


Di dekat jendela, seorang anak perempuan duduk dengan tenang. Mengeluarkan sebuah buku harian, ingin menghiasi kertas yang masih bersih dengan tinta hitam. Titik-titik air mulai membasahi jendela karena Sang Langit tengah menangis, menjadikan hari itu penuh tangis bagi dia yang tengah menuliskan kisah hidupnya seorang diri. 


Namanya Jinhee. Rambutnya tak lagi pendek di atas bahu, sebab katanya, perempuan lebih cantik, jika berambut panjang. Maka, berniat untuk tampil berbeda dari biasanya, mahkotanya sudah panjang melebihi bahu sampai ke punggung, dan hari itu, surai kemerahan itu dibiarkan tergerai. Wajahnya oval dengan sepasang intan kecokelatan yang apabila kedua sudut bibir terangkat ke atas membuat kelopak mata berperan penting; membuat mata ikut tersenyum. Sipit, keturunan memang. Sudah begitu sejak lahir. Pipi pun tak tinggi, tetapi cukup naik ketika ia tersenyum sepenuh hati. Giginya tak sebaik yang disangka, alhasil pengikat besi dipasang agar benar adanya sang dara bisa menjadi apa yang mereka katakan dengan: cantik.

Suatu hari, ia berandai, apabila suatu hari nanti, ia bisa terbang bebas, keluar dari sangkar emas. Berteman dengan semua yang bisa membuatnya tertawa, disenangi banyak orang, dijadikan seseorang yang berarti, dan terlebih, ada yang menanyakan seberapa pedih hatinya, walaupun asal.

Putih. Warna yang membuat sosok Jinhee mengenal arti sebuah perasaan yang menghangatkan sanubari. Putih, mewakili sebuah awal. Tahu betul, kala itu, ia terbang; senang, meski tak bahagia, karena saat itu, mana ada yang tahu apa arti dari kebahagiaan. Bahkan, tak berapa lama, sayapnya patah, menyisakan luka, yang membekas, meski tak ada penyesalan.

Abu-abu, mewakili awal dari segala penderitaan. Abu-abu, mewarnai dunianya. Keputusan diambil. Bukan dari hati, melainkan dari mereka. Tidak apa, meski ada kekecewaan pada diri, ketika tak mampu mengikuti lingkungan berjuang mati-matian. Tidak apa, meski ada kesedihan pada diri, yang tidak menyukai pekerjaan yang dilakukan. Tidak apa, meski ada tangis dan air mata, tetapi setidaknya sudah berusaha. Dua, tidak, hampir tiga tahun berlalu begitu saja. Tanpa melakukan kegiatan menyenangkan, tak berada dalam lingkup manapun, tak bisa lagi mengembalikan waktu, dan keseharian dihabiskan berperan menjadi orang lain, tanpa sepengetahuan siapa pun. Jangan tanya, apakah lelah menghampiri, karena ia pasti lari, ingin kabur dari hari, menyisakan perih bagi kedua pemberi.

Tidak bisa menyuarakan isi hati tak menyukai yang dilakukan, sebab kaki belum bisa berdiri sendiri. Tak mampu menolak, sebab tak ada pilihan lain. Kau tahu? Bagaimana rasanya dibiarkan memilih, tetapi pilihan sudah ada di depan mata? Walaupun pilihan kau ambil, pada akhirnya, mereka yang memiliki andil. Setidaknya, dari situ, ia mengenal hidup.

Terkadang, hanya setetes air mata yang mampu ia berikan sebagai kasih yang diperuntukkan bagi diri. Menahan kekecewaan, meminta raga untuk bertahan, memantapkan hati untuk terus maju. Tak peduli badai, ia tetap akan berdamai. Tak perlu tahu tujuan, hanya ingin membanggakan. 

Tetapi, satu kali setiap hari, rasanya selalu ada yang hilang dalam dada. Sebuah pertanyaan kembali muncul tanpa aba-aba. 

Inikah hidup? 

Lalu, satu lagi. 

Apakah dirimu bahagia?

Jawaban yang diberikan bukanlah sebuah pernyataan, melainkan pertanyaan yang tidak sama sekali diketahui apa jawabannya.

Apakah itu kebahagiaan?

Mencoba melakukan banyak hal demi membanggakan orang lain. Apakah itu termasuk bahagia?
Mengerjakan hal-hal tak disukai demi kesenangan orang lain. Apakah itu termasuk bahagia?
Menjadi seseorang yang diinginkan orang lain. Apakah itu termasuk bahagia?

Sesungguhnya, semua masih abu-abu. Terasa abu-abu, dan memang abu-abu.

Banyak hal dilakukannya demi orang lain, hingga kini, ia lupa bagaimana caranya membahagiakan diri sendiri. Benar memang, kata mereka. Bahagia itu sederhana. Tetapi, apakah arti dari kebahagiaan itu sendiri? Ia tidak paham. Tak ada yang mengajari, karena hidup untuk orang lain.

Tidak ada yang berani mendekat. Mana ada yang terpikat. Bukan soal apa, hanya terkadang pikiran melayang terbang, mencari jawaban atas segala pertanyaan. Apa itu kebahagiaan? 

Sudah dan selalu bersyukur, tidak menyesal karena sejak tiga tahun lalu memilih kehidupan yang diinginkan orang lain. Meski pedih, tetap hati berjuang menahan dan melawan segala yang menghadang, demi memperjuangkan sebuah kertas yang menyatakan diri siap terjun ke masyarakat. 

Hanya saja, lagi-lagi, satu kali setiap hari, ia termenung, membayangkan hidupnya di kemudian hari. Terlalu lelah berjuang, pundak terasa berat. Ingin melepas, namun masih belum bisa bebas. Ingin sesekali dihibur, tetapi lebih memilih kabur, dan berakhir menjadikan tangis sebagai penghibur. 

Tidak pernah ada iri, karena tahu diri. Bersyukur selalu, karena tahu semuanya akan berlalu. Hanya saja, satu kali setiap hari, ia menitikkan air mata, meminta ditunjukkan kebahagiaan selamanya, bukan yang fana, dan hanya kepalsuan semata. 

Kembali lagi. 

Apakah itu arti kebahagiaan? 
Tentang perasaan, pengabdian, penghargaan, kebebasan, atau harapan?




Jaehee, yang membuat orang lain terpana, jatuh cinta, dan ingin menyapa.

Semua mata yang memandangnya selalu mengatakan bahwa ia cantik. Kulitnya putih. Ia menarik hati dan menawan. Mana ada lawan. Singkat cerita, semua orang menyukai Jaehee. Lebih senang bercengkrama dengannya, dibandingkan dia yang tidak pandai bicara.

Sejak putih abu-abu, banyak mata tertuju hanya kepadanya. Lawan jenis, apalagi. Banyak barang, banyak pengharapan diarahkan padanya. Sebuah pertanda, ia dianggap yang terbaik, pada masa itu. Bahkan, pergumulan yang dilaku masih ada yang berjalan hingga sekarang. Ia begitu disenangi hampir oleh semua orang yang ditemuinya. Berbeda sekali dengan yang tak pernah dianggap dan dicari hanya karena presensinya dibutuhkan untuk mendengar celotehan.

Menaiki tingkat selanjutnya, ia diperbolehkan memilih jalan sendiri. Mencari jati diri, dibiarkan pergi memutuskan. Hal itu membuat hingga akhir, ia selalu ingin kembali menuntut ilmu demi kesenangan dan kebahagiaannya. Berbeda dari dia yang tak mampu angkat bicara, tak bersuara, hanya mengikuti apa kata mereka.

Surat untuk menjadi bagian dari masyarakat telah didapat di tangan. Kebahagiaan lengkap sudah ketika sosok baru hadir ke dalam hidupnya. Ingin berdekatan, berusaha meminangnya. Inilah hidup, kata yang lebih tua. Menjalankan hari sesuai hati, menemukan tujuan dari segala jalan, membuat kebahagiaan sendiri nyata. Sosok baru yang di dalam kedua bola matanya terlukis potret wajah yang terkasih, membuat ingin memiliki kekasih. 

Bersyukurlah, sebab membuat orang lain jatuh hati, tak semudah membalikkan telapak tangan. Kata Jinhee, dalam hati. Maka, nikmati, hargai, dan jagalah cinta yang diberikan dia yang memandangmu dengan penuh kasih sayang; menjadikanmu kebahagiaan dalam hidupnya.



Hanya mampu berdiri di belakang, tersenyum hambar. 

Sudahi saja, sebab jika dilihat lebih dalam, maka kau pun akan ikut tenggelam dalam kepedihan hidup dia yang terlupakan kebahagiaannya. Padahal, hanya satu harapannya, ingin bisa menjadi orang terkasih bagi yang dikasihi. Hanya satu impiannya, ingin menjadi dia yang diimpikan seseorang yang dijadikan impian baginya. Namun, banyak hal membuat ia hanya mampu berkhayal. Pantas, ia tak ayal bahagia. 

Siapa pula yang berani bahagia? 
Dia, yang tidak mengerti arti kebahagiaan yang sesungguhnya.


No comments:

Post a Comment

감사합니다