Sunday, August 19, 2018

281 ㅡ ♕ Biar aku yang jatuh, meski tak lagi utuh, setidaknya... hatiku untukmu, menyeluruh.



Aku ingin menjadi pagi yang membangunkanmu dari mimpi.
Aku ingin menjadi senja yang selalu kau rindukan kehadirannya.
Aku ingin menjadi malam yang membuatmu tenggelam dalam kelam.
Aku ingin menjadi dunia yang kau perjuangkan seutuhnya.

Kembali menorehkan tinta berwarna di atas kertas putih, memberanikan diri untuk menulis isi hati. Pertanda baik, keadaan hati mulai membaik, meski bukan yang terbaik. Walau nyeri masih terasa, kehancuran berkeping-keping tak lagi menjadi masalah. Sudah menerima, lebih tepatnya, sejak awal semua memang fana. Tercekat, karena tak mampu memikat, untuk mengingat. Sudah lupa, anggap saja sudah pergi jauh, entah ke mana. Bukan apa, demi siapa perasaan ini mekar bak bunga mawar? Bukan siapa-siapa, memang engkau sendiri siapa?






Aku, yang berusaha menerima.
Aku, yang berharap kau menoleh.
Aku, yang berjuang agar kau tak sendiri.
Aku dan kau, yang tak pernah nyata.

Tak tahu arah, mengalah, demi kepala yang diharapkan tertoleh ke belakang. Tak tentu arah, mencoba marah ketika hati lelah, karena kau jauh di sana, tak tahu apa-apa. Tak ingin mencari, namun kau seolah menari, membuat diri tak berhenti berpikir indahnya sanubari yang terisi akan semua tentangku. Tahu betul, mana mungkin dari sebuah kebetulan menjadi harapan? Tahu pasti, mana mampu menggerakkan hati yang telah lama mati? Atau, nyatanya tak pernah sepenuh hati melihat diri ini tersenyum penuh arti. Semua sama, pikirmu demikian, bukan? Boleh, pikirmu bisa melelehkan hatiku. Sudah, usai kau lakukan, pun aku tak butuh pertanggungjawaban. Hati tak pernah menyangka, kau akan menjadi penjaga. Hati tak pernah memaksa, aku dan kau, berakhir sama. Hati ini berdetak untukmu walau tak paham di mana letak milikmu, dan yakin, mana mungkin kau menghentakkan kaki berjalan ke arah di mana aku berada. Perlahan, aku paham. Permainan yang melibatkan hati, selalu mengundang perih. Aku mengangkat tangan, tak mau ikut ambil bagian. Sejak dulu sudah aku sampaikan, aku tidak akan memulai semuanya lagi, sebab luka yang diberikan, tak pandang buluh. Menyerangku seakan aku mudah untuk ditaklukkan. Aku sempat ketakutan, membayangkan perasaan yang tak pernah berakhir sesuai harapan, kembali ke permukaan. Lantas, untuk apa engkau berkunjung, membiarkan balon harapan yang namamu kusematkan di dalamnya, terbang ke angkasa, jika kau tak berujung ingin tinggal, membuatku mempertanyakan akal yang selama ini kupergunakan untuk membuatmu terpingkal-pingkal?






Aku tidak bisa menentukan akhir.
Bisa jadi, aku dan kau tak memiliki akhir.
Berjalan berdampingan walau tak menentu di akhir.
Alangkah indahnya, aku dan kau bersama menentukan akhir.

Mempertanyakan kebahagiaanku, mereka tertawa bagai aku tidak berarti, karena tak ada siapa pun di sisi yang ingin berbagi kasih. Suatu hari nanti, kau akan bertemu dengan pemuja yang sesungguhnya, kata mereka. Menjadikanmu putri, tak peduli bagaimana, siapa, apa, dan di mana. Nanti, suatu hari nanti, bukan sekarang, gadis malang. Untuk kali ini, bersabar menunggu yang terkasih datang, hingga nanti mendapatkan dia yang menyuarakan isi hati dengan lantang: hanya kau satu-satunya penguasa hati. Aku menantikan kehadiranmu di dalam kediamanku yang terasa semu. Sudah lama aku berhenti merasa. Kuputuskan untuk berhenti menciptakan mimpi yang kuanggap nyata demi membahagiakan hati. Saat kau datang, aku tertantang, membuatku mulai ingin dan berani melihat masa depan yang terbentang, memanggilku terbang untuk bertemu dengan titik terang. Sungguh, aku tidak pernah ingin menyelipkan harapan, tetapi entah mengapa, aku selalu menjadikanmu angan. Bukan salahmu, pun juga bukan masalahmu. Aku yang kalah, mengalah karena lelah sudah terlalu mudah memberi. Maka dari itu, aku akan menjaga hati ini seorang diri. Tidak perlu takut, aku tak akan menyikut, dan membuatmu ikut tenggelam dalam laut kelam nan dalam yang kuciptakan untuk bersembunyi. Kubiarkan kau pergi, membawa hati yang tak sepenuhnya pernah kumiliki. Kubiarkan engkau berjalan, lagian, aku tak pernah benar-benar menjadi bagian dalam kehidupanmu yang nyaman, bukan?



Biar aku yang tenggelam, berteman kelam, dipeluk malam.
Biar aku yang merindu, menyisakan candu, melepas bayangmu.
Biar aku yang merasa, hingga putus asa, dihempas masa.
Biar aku yang jatuh, meski tak lagi utuh, setidaknya... hatiku untukmu, menyeluruh.

No comments:

Post a Comment

감사합니다