Saturday, August 11, 2018

273 ㅡ ♕ Selamanya di hati, sepenuhnya dalam jiwa.

GLENDA ☓ BRENDA
Two hearts are better than one
Written by Vanny | 3,139 words


It's alright, if you run out of breath,
no one will blame you.
It's okay to make mistakes sometimes,
because anyone can do.


Titik-titik bintang begitu cantiknya menghiasi malam. Sudah saatnya bagi para warga Negeri Ginseng untuk terlelap. Banyak dari mereka sudah terlelap, dan hal itu terlihat dari bagaimana keadaan lalu lintas sudah tak begitu menimbulkan bunyi mesin kendaraan yang menderu. Namun, terlepas dari seharusnya para warga sudah terlelap karena waktu menunjukkan saatnya untuk beristirahat telah tiba, seorang gadis terlihat masih duduk di meja kerja. Kedua netra sang dara terfokus pada sebuah komputer dengan layar yang masih menyala. Tampaknya, ia sedang mengerjakan sesuatu. Lebih tepatnya, menulis sesuatu.

Seulas senyum terukir pada paras ayu milik Glenda Phopy Gentiana, yang sejak kepindahannya ke Korea Selatan akrab disapa Brenda. Ia melepas kacamata baca, lalu mengelus pelan tulang hidungnya. Otot-otot di bagian pundak pun dilemaskan, dan punggung bersandar ke belakang pada kursi. Perlahan, Brenda menutup sepasang netra berbentuk almond miliknya, dan berakhir terlelap.

Sebuah kisah tentang kehidupan seorang dara yang melangkah maju dengan menggunakan nama saudara sendiri akan dimulai. Sang pemilik kehidupan tengah terlelap, dan seketika, memori hitam bak kopi pahit yang melambangkan kelamnya malam dan kentalnya sebuah penyesalan, kembali menyapa tanpa permisi. Melalui bunga tidur, kehidupan di alur waktu yang lain, terbangun.


✦.“Kenyataan yang tak terduga, mimpi yang kau buat nyata.”

ㅡ Victoria Hills, Beijing, China
ㅡ UTC + 08.00
ㅡ February 13th, 2011


Kehidupan di bawah langit kota Beijing yang biasanya diramaikan oleh warga kota, hari itu terlihat berbeda. Jalanan sepi, para warga tampak menutup diri.

Hujan?
Tidak juga, hanya sedikit berawan. 

Akan hujan?
Tidak juga, hanya saja gumpalan awan begitu dekat, berpegangan tangan dengan erat.

Mentari di ufuk timur membagi kasih kepada para warga bermata sipit tanpa maaf. Kasih yang sejati dari Sang Surya begitu dalam sampai bulir keringat nyaris selalu jatuh dari pelupuk mata. Awan-awan kapas mengitari mentari bagai selimut malam walau hari masih pagi. Ingin memeluk erat, awan ingin bersama mentari. Tak ingin, hendak melepaskan diri, mentari memberontak. Sang Surya tak sanggup melepaskan diri dari dekapan awan-awan yang mencoba menyelimutinya karena terlalu lelah. Akhirnya, Sang Surya terlelap dan pergi beristirahat.

Titik air turun. Hujan menghantam negeri tirai bambu dengan jeritan yang meledak-ledak. Petir menyambar, membuat siapa saja terkejut, dan mungkin takut. Embusan angin menembus daging, menusuk tulang.

Victoria HillsㅡKomplek perumahan ternama di Beijing menjadi sorotan. Seorang gadis bersurai brunette menatap ke luar jendela kamarnya dengan tatapan hampa. Kedua bola mata hitam tak menunjukkan tanda-tanda adanya kehidupan terpancar di sana. Sepasang mata yang terlihat mampu menandang dunia, ternyata tak nyata adanya. 

“Glenda ...” Suara lirih dari sopran seorang wanita yang mungkin berusia sekitar 45 tahun terdengar. Datang secara tiba-tiba, mengusik keheningan hujan yang sedang menghibur hati seorang dara bersurai brunette.

Tak bergerak, tak bereaksi. Terdiam membisu, tak ingin berkata apa pun. Gadis yang dipanggil Glenda oleh wanita yang tak lain dan tak bukan adalah ibunya sendiri, tak memberikan reaksi khusus. Glenda memilih diam, dan hanya memandang titik-titik air yang membasahi bagian luar jendela kamar.

Sentuhan lembut tangan keriput ibunda, menggelitik geli pundak sang anak. Namun, terlalu geli sampai rasanya seluruh tubuh si bungsu Gentiana menjadi kebal. Niat untuk menyingkirkan tangan tersebut pun tak timbul. Glenda masih terdiam.

Sopran yang sudah menjadi bagian dari hidup gadis bernama Glenda itu sejak kecil, kembali menghantam gendang telinga. “Apa kau baik-baik saja?” tanya ibu dengan nada penuh kecemasan sengaja diperdengarkan.

Gadis bersurai brunette dengan kedua bola mata yang cantik serta hidung yang mancung pun akhirnya bersuara, “Aku tak butuh mata ini!”

“Aku tidak butuh!” Ia mengulangi dengan penekanan di setiap kata yang terucap. 

Bersama dengan titik air yang mengalir membasahi kedua pipi, ia berkata lirih, “Biarkan aku buta!”

Dada begitu perih seperti tertusuk duri, walau tak berdarah. Menangis tersendu, ia tak butuh apa yang didapatnya sebagai hadiah dari seorang saudara. Raungan terdengar, kedua tungkai menjadi lemas tak bertenaga. Perih, sedih. Ia menitikkan air mata kala mengenang sesuatu yang pedih dalam tangis pilu.

Glenda Gentianaㅡadik dari Brenda Gentiana. Tidak, bukan hanya adik. Mereka adalah saudara kembar identik yang lahir di Beijing pada hari Senin, tepat pukul delapan pagi waktu setempat. Pada tanggal 1 Maret 1998, kedua bayi kecil yang akrab dipanggil Gentiana Twin Sister oleh kerabat-kerabat dekat merekaㅡmenangis dalam kebahagiaan penuh rasa syukur. Kelahiran kedua bayi Gentiana memberikan sebuah harapan bagi kedua orang tua. Akhirnya, setelah menanti dan menunggu sekian lama, kehidupan sepasang suami-istri pun lengkap sudah. Menikah di usia yang terbilang terlambat selalu membuat pasangan suami-istri tersebut bermimpi buruk setiap malam. Namun, tertanda tanggal 1 Maret 1998, dua penerus lahir bersama bagai kelopak Bunga Gentiana yang mulai bermekaran. Brenda dan Glenda hidup dalam keluarga yang sangat berkecukupan, bahkan berkelimpahan. Bukan hanya menjalani hidup yang baik dari segi keuangan saja, kedua bayi kecil keluarga Xú tumbuh dewasa menjadi dua gadis yang cantik dan berwibawa. Mereka juga cerdas dalam pendidikan, dan menjadi penerus dari sebuah perusahaan otomotif ternama di Beijing, bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah takdir.

BG Automotive CompanyㅡPerusahaan kendaraan roda dua dan empat terbesar dan ternama di Beijing. Bekerja sama dengan berbagai negara di dunia membuat perusahaan ini tak lekang oleh waktu.


Pernyataan yang menjadi sebuah takdir hidup, diperdengarkan sulung Gentiana kepada adiknya. “Glenda ... aku tak mau menjadi penerus.”

Kakak dari saudara kembar keluarga Xú, yaitu Brenda, mengatakan isi hatinya ketika sedang mengobrol dengan sang adik sebelum beristirahat. Kala itu, langit penuh bintang. 

Kedua netra membulat sempurna dan sontak, sang adik bertanya, “... Kenapa?”

“Aku sudah menemukan seseorang yang ingin kuajak hidup bersama. Aku mencintainya, dan aku akan membangun sebuah keluarga yang sederhana bersamanya.” Brenda menjawab dengan santai, dan senyum menghiasi parasnya yang menawan. Terdengar sebuah keyakinan yang pasti dalam setiap ucapan kalimat yang lolos dari bibir si sulung. Namun, di sisi lain, hal itu justru membuat Glenda khawatir bukan main.

Glenda menaikkan sebelah alisㅡseakan penuh tanya, dan tak percaya dengan apa yang baru saja tertangkap indera pendengarannya. Ia memberikan reaksi, “Apa...? Kau bercanda, ’kan?”

Setelah mempertanyakan keseriusan sang kakak, dan dijawab dengan anggukan singkat oleh si sulung Gentiana itu, Glenda pun kembali bersuara. “... Aku tidak terima anggukan saja. Cepat katakan padaku kalau kau sedang bercanda, atau … kau memang serius. Cepatlah! Aku tak paham.”

“Aku serius, Glenda.”

Mengerjapkan kedua netra, Glenda mencoba mencerna sendiri keseriusan sang kakak yang diperlihatkan melalui nada bicara yang tenang, namun penuh keyakinan. Sedikit gila. Ah, tidak. Sangat gila.

“Jadi ... kau serius...?” Glenda masih tak percaya. Ia mana mampu percaya. Oleh karena itu, cepat-cepat ia menyuarakan isi hatinya. “Aku juga tak mau menjadi penerus. Jika kau tak mau, aku juga tak mau!”

Brenda menarik napas dalam-dalam sebelum meraih tangan adiknya dengan sorotan mata penuh permintaan, “Aku mohon, jangan beritahu mama. Aku akan mengatakannya sendiri, danㅡ” ia memberi jeda singkat sebelum melanjutkan, “ㅡaku minta maaf karena sudah menempatkanmu di posisi yang sulit. Papa pasti akan menjadikanmu penerus keluarga. Aku minta maaf, Glenda ....”

Glenda menggelengkan kepalanya. Ia menolak, tak setuju dengan keputusan sepihak yang dibuat oleh sang kakak. Namun, tak ada suara yang keluar dari bilah bibir. Kedua netra mulai terlihat memerah dengan titik-titik air yang perlahan membasahi kelopak. 

Walau sang adik sedang terbawa perasaan akan fakta yang baru saja didengar serta kenyataan yang tak pernah terbayangkan dapat terjadi, nyatanya cepat atau lambat bisa saja terjadi, Brenda mencoba menjelaskan situasi yang ia alami dengan penuh perhatian, “Pria ini bekerja di dunia hiburan, dan ... memang hidupnya tak berkelimpahan seperti kita.”

Mendengar penuturan dari sang kakak yang lahir lebih dulu beberapa detik darinya, Glenda yang saat itu sedang berusaha menghentikkan air mata yang mengalir, tak mampu melakukan keinginannya karena titik-titik air masih terus berlinangan membasahi kedua sisi bukit pipi. 

Glenda menambahkan, “Aku juga akan menjadi seorang idola di Korea Selatan, dan akan selalu mendukungnya.”

Si bungsu keluarga Xú yang masih belum dapat menghentikkan air mata yang mengalir, memberanikan diri untuk memandang lurus ke dalam kedua bola mata sang kakak. Namun, tak didapati kegetiran di sana, melainkan sebuah keseriusan yang begitu mantap dirasakan. Brenda begitu serius dengan keinginannya sehingga sebagai kembaran, Glenda, pasti akan membantu Brenda untuk mewujudkan impiannya.

“Ah ... kau benar-benar sudah jatuh cinta ...,” gumam Glenda sebelum menghembuskan napas dengan kasar, dengan harapan kakaknya merasa terbebani.

“Jangan khawatir, Glenda. Aku akan hidup dengan baik.” Kalimat tersebut lolos dari bibir seorang gadis yang belum genap berusia tiga belas tahun, dan kenyataan bahwa Brenda akan meninggalkan Glenda, adiknya, sungguh membuat sang adik merasa sangat cemas dan takut.

Glenda hanya terdiam membisu. Ia kembali mencerna apa yang dituturkan sang kakak dalam keheningan. Sungguh mengagetkan, ia bahkan tak mampu berkata-kata untuk memberikan tanggapan atas impian yang disampaikan kakaknya. Ya, berbeda dengan Brenda, Glenda tak memiliki impian yang ingin ia perjuangkan. Mungkin belum. Ia masih belum paham akan arti dari sebuah cita-cita meski usia sudah mengharuskan dirinya untuk mulai berpikir. Glenda sangat berbeda dengan Brenda. Mereka berbeda, meski terlahir bersama. Brenda selalu penuh semangat dalam menjalankan segala hal, seperti dalam pelajaran di sekolah, dalam pertemananㅡBrenda sangat berpotensi untuk menjadi penerus perusahaan keluarga. Namun, karena hubungan kedua gadis kembar itu sangat dekat, adik juga tak pernah merasa sedih dengan terpilihnya sang kakak sebagai penerus perusahaan keluarga.

“Tapi ...,” bantah Glenda sebelum kakaknya menambahkan kalimat lain yang dapat membuat dirinya kembali menangis.

Dengan cepat, Brenda meyakinkan sang adik, “Tidak ada tapi-tapian, Glenda, karena semua akan baik-baik saja. Aku akan mengurus hidupku sendiri, dan ... semuanya ... akan baik-baik saja.”

Glenda hanya mampu menarik napas panjang, dan menghembuskannya dengan perlahan. Ia mulai mencoba untuk memahami keadaan sang kakak. Ia mencoba untuk percaya bahwa semua akan baik-baik saja sesuai dengan apa yang dikatakan si sulung Gentiana. Ya, semua akan baik-baik saja. Dengan penuh harapan bahwa esok hari akan datang dan kehidupan tetap akan berlangsung dengan baik seperti biasanya, kedua gadis berparas serupa penyandang nama keluarga Xú pun terlelap dalam gelapnya malam bersama dengan bintang-bintang yang menerangi.


Mentari yang terlelap bersama dengan seluruh persona di Cina, terbangun karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Pagi yang seharusnya datang dengan tenang, tak terjadi pada keluarga Xú hari itu. Suara pecahan kaca menggema dalam rumah, suara-suara gemuruh berteman dekat dengan suara pecahan kaca sebelumnya.

“BRENDA!” 

Teriakan seorang wanita yang adalah ibunda dari si kembar Gentiana terdengar begitu memekakkan telinga karena yang dipanggil tengah melempar beberapa vas bunga ke arah kaca di ujung ruangan. Ruang kantor ibunda dan ayahanda berubah rusuh dan semua ricuh ketika Brenda mulai melakukan tingkahnya. Glenda berdiri di tengah keramaian dengan perasaan bingung. Hendaknya ia ikut memberontak—menunjukkan bahwa ia berpihak pada sang kakak bagaimanapun caranya. Tetapi, diri engga bergerak karena terlalu takut. Tak suka, Glenda tak pernah suka keributan. Para penjaga rumah dan beberapa asisten rumah tangga ikut meramaikan suasana pagi yang ribut. Masih pagi, namun tak berarti.

Glenda tak tahu harus berbuat apa. Ia mengerutkan dahinya sambil menggigit bibir bawah. Dalam hati, ia bersuara, ‘Bagaimana ini …? Apa yang harus aku lakukan …?’

“Mama, aku ingin bersama dengannya! Biarkan aku pergi!”

Brenda menangis. Ia meraung-raung dengan dua vas bunga yang masih dalam genggaman tangannya. Hari itu, semua yang dikatakan si sulung Gentiana sungguh tentang sebuah kejujuran yang sudah sekian lama tersimpan dalam hati. Akhirnya, hari dimana ia dapat mengatakan semuanya pun datang. Brenda hanya ingin menjalani hidup yang sederhana bersama dengan pria yang ia cintai. Namun, pasangan suami-istri yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan menjadi kedua orang tua dari si gadis, tak akan pernah membiarkan hal itu terjadi. Brenda dan Glenda berada dalam sangkar emas setiap harinya. Tak suka, memang tak pernah bahagia meski senyum menghiasi paras ayu si kembar. Glenda tak pernah memberontak, namun bukan berarti ingin hidup dalam kotak yang dikendalikan oleh kedua orang tua. Brenda sedang memberontak, namun bukan berarti tak memiliki otak untuk berpikir akan konsekuensi apa yang nanti ia terima usai mengatakan isi hati.

Entah mengapa, Glenda yang mendengar kalimat Brenda sungguh tak dapat berkata apa pun. Ia menitikkan air mata dalam diam. 

Melihat adiknya tersendu, Brenda menghampiri Glenda yang langsung menatap sang kakak. Brenda menggenggam tangan Glenda dengan erat sambil berkata dengan lirih, “Tolong aku, Glenda ….”

Sebenarnya, semalam keduanya telah merencanakan sesuatu ketika keadaan seperti ini datang. Namun, tak pernah terbayangkan hari dimana kejujuran yang berada di atas segalanya, tak diterima kedua orang tua—datang begitu cepat. Brenda berencana untuk melarikan diri dari kastil emas yang dingin, dan tentu saja, Glenda menyetujui hal itu. Glenda pasti akan menjadi perisai yang membantu sang kakak melawan segala halangan dan membantu sang kakak menemui kebahagiaannya. Ya, Glenda mengiyakan permintaan Brenda.

“Brenda, jangan buat masalah ….” Tetapi, rasanya tidak secepat ini, bukan? Tidak secepat ini, Glenda harus berpisah dengan Brenda, meski ia tentu ingin Brenda bahagia bersama seseorang yang dicintainya.

“Glenda, ayo!” Brenda mengajak Glenda untuk segera membantunya meninggalkan rumah yang tak akan menjadi kediamanan baginya lagi. “Kita tidak punya banyak waktu. Ayo! Kau sudah janji padaku akan hal ini. Jadi, ayo!”

Pada akhirnya, Glenda tak mampu menolak permintaan sang kakak. Dalam hitungan detik, ketika sinyal mata dari Brenda diterima dengan baik oleh Glenda, keduanya memulai aksi mereka. Lari. Hal itu merupakan satu-satunya hal yang mampu terpikirkan. Ya, untuk saat itu. Keduanya berlari berdampingan. Berpegangan tangan, jemari bertautan, menggenggam erat, dan tak ingin lepas. Lincah, dua gadis yang pandai dalam bidang olahraga itu membuat keduanya mampu melewati rintangan yang ada di depan mata. Tak mungkin ayah dan ibu diam saja ketika melihat kedua buah hati mereka berusaha melarikan diri. Para penjaga rumah mengejar bersama dengan asisten rumah tangga yang saat itu, jika dikumpulkan nyaris berjumlah sekitar lima puluh orang. 

TINNNNNN!!!!

Klakson mobil terdengar di jalan raya yang tak biasanya ramai kendaraan roda empat. Tebasan hebat menyentuh tubuh seorang dari dua saudara yang tengah berusaha melarikan diri—kabur dari sangkar emas. Seseorang dari kedua peserta lari maraton yang tak ada ujungnya itu mendorong peserta lainnya untuk pergi menjauh dari maut yang datang tak diundang. Titik air mata tak mampu keluar, tangisan tertahan dalam dada. Lumuran cat merah menghujani tubuh salah satu dari si kembar Gentiana. Tidak. Ketika itu, mereka tak sedang bermain dengan cat untuk melukis sesuatu. Namun, Tuhan menorehkan warna yang berbeda pada hidup keduanya. 

Kaget, bimbang, cemas dan takut. Itu yang dirasakan bagi Glenda saat itu. Tubuhnya terasa kaku, ia terjatuh di sebelah sang kakak yang terbaring tak berdaya dengan sepasang netra yang hampir tertutup. Oleh karena itu, Glenda memanggil nama kakaknya di tengah raungan hebat, “BRENDAAAA!!! BRENDA—BREN ….”

Brenda tersenyum ketika embusan napas terakhir ia loloskan. Sulung Gentiana berada dalam pelukan erat sang adik kala Tuhan merenggut nyawa insan kesayangan Glenda. Meraung-raung dalam tangis yang tak kunjung usai, Glenda menutup matanya dengan harapan semua akan baik-baik saja ketika mata terbuka nantinya.

Beberapa penjaga baru datang sesaat kemudian. Namun, tak ada gunanya. Napas panjang Brenda sudah lepas dari tubuh gadis menyedihkan itu. Brenda hanya ingin bahagia, tetapi kejadian tragis yang ia dapat. Sungguh, jika diperbolehkan memutar balik waktu, Glenda tak akan menyetujui permintaan Brenda untuk membantunya melarikan diri hari itu. Tak akan.

“Tak ada gunanya kalian datang!” Lelah menangis, meskipun titik air belum berhenti, Glenda menghardik para penjaga, suruhan ayah dan ibunya. “Semua sudah terjadi ….”

Begitulah bagaimana Glenda kehilangan kakak kembarnya, Brenda Gentiana. Mengenaskan dan menyedihkan, tak ingin dibayangkan meskipun hanya dalam mimpi. Brenda, hanya tinggal kenangan. Memori bersama dengan kakaknya yang terkasih, hanya akan selamanya tersimpan dalam kotak kenangan dalam hati. Beberapa bulan dijalani Glenda dengan berat. Tak ada senyum terlukis pada parasnya, tak ada gelak tawa menemani hari, dan yang ada hanya tatapan mata yang kosong. Ia hidup, tetapi seperti mati.


Suatu hari di hari Natal pada tahun 2012, Glenda berkata dengan tegas, “Aku akan hidup sebagai Brenda.” Ia angkat bicara ketika makan malam hari Natal dilakukannya bersama dengan kedua orang tua. “Aku akan ke Korea Selatan, dan menjadi seorang idola.”

Ibu yang duduk di sampingnya tak bersuara, mana berani. Suasana hening mengisi kekosongan hari karena anggota keluarga hilang satu. Hari itu adalah natal pertama tanpa Brenda.

“Aku akan membuat Brenda menjadi seorang idola. Aku akan mewujudkan impiannya.” 

Sangat disayangkan, Brenda menghembuskan napas terakhirnya begitu saja dengan sangat mengenaskan. Tragis. Namun, tabrakan singkat itu tak hanya merenggut nyawa salah satu gadis Gentiana, tetapi nyaris keduanya akan diambil pulang oleh Tuhan. Glenda mengalami gangguan saraf dan hampir buta. Pada hari yang sama, tabrakan maut nyaris merenggut nyawa kedua anak, tentu orang tua menjadi panic dan takut. Brenda kehilangan nyawa, dan Glenda kehilangan mata. Tetapi, pasangan Xú tidak menginginkan hal tersebut. Jangan sampai terjadi, piker mereka. Oleh karena itu, ibu bertanya pada dokter perihal bisa atau tidak kedua mata Brenda didonorkan untuk Glenda, kembarannya, dan tragisnya lagi, kini Glenda hidup dengan menggunakan kedua netra Brenda. Bisa kau bayangkan seberapa berat beban yang berada pada pundak Glenda? Ingin menangis, ingin berkata tidak ketika ia tahu bahwa matanya adalah milik Brenda yang telah tiada. Kembali lagi, ia tak berdaya. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

Kegiatan ‘tak melakukan apa pun, dan hanya mengunci diri di kamar’ diselesaikan Glenda pada hari Natal tahun 2012. Glenda adalah Brenda sekarang, dan kakaknya, Brenda, akan selalu dikenang dalam hati sang adik. Sorot mata Brenda yang lembut, kini menjadi milik Glenda seutuhnya dan selamanya. Oleh karena itu, Glenda bertekad untuk hidup lebih baik dengan menggunakan nama Brenda. Ia pun ingin memperlihatkan banyak pemandangan dan hal indah kepada Brenda dengan bertemu dengan teman-teman yang baik, dan pergi wisata ke tempat-tempat yang indah. Glenda, sebagai Brenda, akan mulai mempertaruhkan hidupnya. Dengan meninggalkan segala kekayaan materi yang begitu berlimpah dan popularitasnya sebagai seorang penerus BG Automotive Company, Glenda Gentiana yang sejak hari itu mengaku bernama Brenda Gentiana bertekad bulat untuk memulai hidup barunya di Korea Selatan. 

✦.“Selamanya di hati, sepenuhnya dalam jiwa.”

ㅡ Flashback end


Kehidupan di negeri orang tak semulus yang dipikirkan. Meskipun ia diterima sebagai seorang trainee di sebuah agensi entertainment ternama, jatuh dan bangun menimpa diri Glenda yang saat itu sudah hidup sebagai Brenda. Ia terpaksa mengundurkan diri karena kesehatannya terganggu akibat terlalu lelah berlatih. Ternyata, menjadi seorang trainee, tak semudah yang ia bayangkan. Sempat ingin menyerah, namun tidak sekarang. Alhasil, kini Glenda berada di tahun kedua dirinya mengenyam pendidikan di Seoul National University dengan Performing Arts of Communication sebagai jurusan pilihannya. Ia berharap setelah lulus nanti, ia dapat dengan mudah menjalin koneksi dengan entertainment ternama sehingga dapat dengan cepat menjadi idola. Ya, ia ingin secepatnya mewujudkan impian Brenda agar sang kakak tenang di alam sana. Oleh karena itu, setiap hari, tak ada absen satu kali pun, Glenda berdoa untuk kakaknya.

Suara alarm membangunkan Glenda yang terbaring lemas di atas kasur. Sudah saatnya untuk bangun dan bersiap untuk pindah ke sebuah apartemen di Gang-nam. Waktu menunjukkan belum saatnya warga Korea Selatan untuk bangun. Namun, ia yang mendapatkan jadwal untuk pindah pada malam hari harus membuka kedua netra dan melangkahkan sepasang tungkai ke Apartemen Daechi. Berpakaian kasual, Glenda meninggalkan kamar asrama universitasnya dan segera pergi menuju ke tempat tujuan dengan menggunakan kendaraan umum berupa bus. Sudah malam, tetapi tak cemas dan takut pergi kemana pun karena kakaknya, Brenda, akan selalu menemani.















No comments:

Post a Comment

감사합니다