Wednesday, June 14, 2017

208 ㅡ ♕ Some things are better left unsaid.

Tidak pernah terlintas dalam pikiran bahwa diri akan kembali memanggil masa lalu untuk hadir ke dalam kehidupan. Sebuah pertanyaan mampu membuat kenyataan yang terpendam dalam kotak kenangan, terbuka dengan sendirinya. Tak ingin hati memanggil, tetapi tanpa sadar telah berusaha menarik suara. Tak ingin pikiran terbang ke angkasa, tetapi sayap telah siap membawa pergi diri untuk kembali ke masa-masa mendung. Tak ingin kembali pulang, namun sudah terlambat.

"Apa yang sebenarnya membuat kalian berpisah?"

Tertegun. Terdiam untuk beberapa saat. Luka lama kembali terbuka meskipun telah disembuhkan oleh waktu. Inginnya demikian. Namun, ternyata luka tersebut masih belum sembuh. Tak akan sembuh karena bibir belum berucap kata-kata mengenai alasan di balik keputusan yang diambil, dan kini, goresan tipis luka lama kembali membuat diri nyeri dan ingin menitikkan air mata. Tahan, tahan saja. Bisa, pasti bisa. Tepat sebelum bibir berucap, dering benda pipih berlayar sentuh menginterupsi. Terima kasih, Tuhan. Hati bergumam dalam diam kala sedang berbincang dengan seseorang melalui sambungan tak kasat mata, karena tak perlu langsung mengungkapkan isi hati yang telah terpendam jauh dan dalam. Aku, terselamatkan.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian. Tetapi, setiap aku berbicara dengannya mengenai dirimu, dia seperti berapi-api."

Perih. Luka yang dulu sempat menjadi satu-satunya beban bagi hidup, ternyata masih saja menjadi sesuatu yang tak mampu dilupakan meski waktu berusaha menyembuhkan. Tidak menitikkan air mata rindu, hanya saja hati seperti mulai membendung air yang meluap ingin keluar. Tidak tahu kebenaran di balik sikap yang diambil saat menghadapi sebuah hubungan di masa lalu, tetapi satu yang dapat dipastikan memang terjadi, yaitu banyak hal yang tak mampu diungkapkan, banyak kejadian yang tak diperbolehkan untuk dikatakan, banyak perasaan yang membuat diri gundah, sehingga sebuah keputusan untuk berpisah menjadi satu-satunya titik terang menuju langkah yang lebih baik. Harapan memang demikian. Ingin menjadi lebih baik. Ingin hidup lebih bermakna. Terutama, berbakti. Namun, sampai detik ini, diri tak sama sekali bahagia meski raga tersenyum. Tubuh tak sama sekali bersemangat meski bibir berucap kata penyemangat. Senyum bukan lagi milik hati, melainkan milik raga yang dengan sendirinya berusaha menjadi matahari. Air tidak lagi milik mata, tetapi kini, milik kesepian, kerinduan, kepenatan, kepedihan dan kenyataan. Seperti tanpa tujuan, tak ada sesuatu yang ingin dilakukan. Kaku, bukan lagi seorang pemimpi. Tak lagi liar dalam tidur, kini kedua mata terbuka menatap kenyataan pahit hidup tanpa pegangan.

Maafkan diri yang tak siap berkata banyak ketika waktu memungkinkan untuk menjelaskan segala kenyataan yang dialami. Penakut, bukan pemberani yang rela mati demi seorang kekasih. Hidup hanya sekali, baru disadari kebenarannya. Hanya saja, semua sudah terlambat untuk disampaikan. Tak apa, bukan masalah. Tak sampai, bukan kewajiban untuk mendengarkan lagi. Namun, satu hal, terima kasih kuberikan bagimu yang berhasil membuatku bermimpi bahwa seorang pangeran itu ada bagi seseorang yang hidup dalam kebahagiaan palsu sepertiku. Meskipun sampai detik ini, aku masih tak mampu mengatakan kebenaran yang terjadi saat aku dan kamu bersatu dalam satu ikatan benang merah di masa lalu, terima kasih sudah membantuku menyadari bahwa aku belum sanggup untuk menghancurkan sangkar emas yang menjadi kediamanku. Entah kapan aku akan berhasil terbang bebas, mengejar harapan, tanpa kepalsuan. Tak paham, tak pernah kutemukan jawaban. Janjiku padamu, jika suatu hari nanti kutemukan jawaban itu dan kau masih bersedia mendengarkan, kupastikan kau mengerti alasan yang menjadi tameng bagi diriku untuk membenci dirimu... dan tentu, diriku sendiri. Kalau begitu, maafkan aku, terima kasih, dan sampai jumpa, kenangan.

No comments:

Post a Comment

감사합니다