Tuesday, July 3, 2018

248 ㅡ ♕ Tak ada yang namanya kebetulan.

Kencan Petualangan Online x Perubahan Alamat
Laurel Hausman x Anji Limon Taylor
13 x 25

Kang Shinwoo x Han Jisoo

Tak ada yang namanya kebetulan; dan apa yang keliatan sebagai suatu kebetulan muncul dari suatu sumber takdir yang lebih mendalam.
— Johann Friedrich Von Schiller

Setelah terus-menerus “menjomblo” dan tak pernah kencan dengan siapa pun selama beberapa waktu, dengan pengecualian satu kali bencana, kuputuskan bahwa pernikahan bukanlah takdirku. Ketika menyetir pulang ke rumah dari tempat kerja di suatu malam, tiba-tiba aku menyadari sedang menatap sekilas ke langit lewat jendela depan dan berbicara kepada Tuhan, “Tuhan, aku tidak akan menikah.”

“Aku tidak sedang ingin bertemu seseorang. Aku sudah punya kehidupan yang menyenangkan. Seorang laki-laki hanya akan membuat hidup menjadi kacau. Lagi pula, kalaulah Tuhan menghendaki aku menikah, tidakkah menurutmu Tuhan lah yang akan membawakanku seseorang yang tepat pada waktunya?”

Temanku terlihat skeptis ketika memandangku lewat asap yang menguap dari cangkir cappucino kami. “Apakah tak pernah terpikirkan olehmu, bahwa Tuhan menghendaki kaulah yang mencari? Memang, kau sudah punya karier mengajar, rumah sendiri, seekor anjing Baegle, dan kemandirianmu, mungkin hubungan yang indah akan memperkaya hidupmu yang sudah nyaman.”

Aku menyimpan pernyataan itu di sudut kepalaku. Minggu-minggu berikutnya kadang-kadang kukeluarkan dan kukaji lagi, dan berdoa untuk itu, dan pernyataan itu pun kembali ke tempat persembunyiannya. Suatu hari, di tengah ritual mengeluarkan pernyataan itu, kuperhatikan bahwa kata-kata temanku itu semakin membesar. Dengan mengakar, pernyataan itu sudah menyebar seperti tanaman rambat, dan dalam cerita Alkitab tentang Ibrahim, yang mengutus pembantunya mencarikan istri untuk anak lelakinya, Ishak. Ibrahim tidak hanya duduk-duduk saja dan menggoyangkan-goyangkan ibu jari, menantikan perempuan muda mengetuk pintu kemahnya. Rencana melibatkan tindakan yang direncanakan.

“Baiklah, Tuhan,” pintaku. “Jika Engkau menginginkan aku mencari pasangan, lalu tunjukkan kepadaku bagaimana aku harus memulai pencarian, karena kukira bar, nightclub, dan di bawah batu bukanlah tempat yang Engkau kehendaki.”

Kembali ke tahun 1970. Aku berusia enam belas tahun dan sama sekali tak paham perihal kencan. Satu-satunya nasihat yang dibekalkan ibuku tentang anak laki-laki adalah, “Jangan pernah menelepon anak laki-laki duluan! Nanti kau dikira perempuan gampangan.”

Gampang dalam hal apa?
Dalam memecahkan soal matematika?

Aku menyimak nasihat ibuku, meski tak setuju. Ini kan zaman modern. Ibuku boleh saja sudah menasihatiku agar aku tidak menelepon laki-laki, tetapi dia kan tidak pernah menyebut perihal e-mail.

Suatu malam, aku mendapatkan e-mail dari seseorang yang bernama Kang Shinwoo. Dia bertanya apakah aku sudah menikah dan punya anak. Aku mulai mengetik jawaban, “Aku sedang kuliah menjadi seorang pendeta berijazah, yang kutekuni dengan sungguh-sungguh. Jadi, bila kiriman e-mail ini kurang pantas, aku akan menegurmu! Aku bukanlah perempuan yang sedang putus asa.” Keyboard komputerku benar-benar piawai! Teleponku lalu berdering.

“Halo, Han Jisoo. Ini Kang Shinwoo. Aku baru saja mengirimimu e-mail, tetapi aku sudah tidak sabar dan lebih baik telepon saja. Aku tahu kau dekat dengan Tuhan. Itulah sebabnya aku ingin bicara denganmu.” Aku tak bisa membayangkan apa yang ingin diobrolkan lelaki ini. Jadi, aku pun bersikap melindungi diri dan siap-siap menutup telepon, kalau itu memang diperlukan. Dia pun mulai bicara. “Aku tak tahu bagaimana harus mengatakannya, jadi aku akan berbicara apa adanya saja. Aku melihat website-mu tadi malam, dan setelah membaca biografimu, aku yakin kaulah perempuan yang telah lama kudambakan dalam doaku.” Shinwoo lalu bicara dalam bahasa yang dia yakin kupahami, yaitu ayat-ayat dalam Alkitab. “Jangan membatasi Tuhan, Jisoo. Karena, bersama Tuhan tidak ada yang mustahil.”

Kata-kata itu langsung menghangatkan hatiku, dan meski perasaanku tentang pernikahan masih sama, aku mau mendengarkan semua yang dia katakan.

Pada tanggal 28 April 2007, kami berjumpa langsung ditemani kopi latte. Kami sama sekali tak kesulitan menandai masing-masing, karena sama-sama memajang foto kami yang terakhir. Kami mengobrol berjam-jam dan sepakat untuk bertemu lagi, dan lagi, dan lagi. Perlahan-lahan kami saling mengenal sebagai teman. Aku terkesan oleh budi baiknya, rasa hormatnya kepadaku, dan kenyataan bahwa dia menyukai anjing-anjingku. Kami memiliki banyak sekali kesamaan, namun dengan senang hati menerima perbedaan di antara kami masing-masing.

Setelah beberapa kali mengobrol dengan Shinwoo, aku dan dia memutuskan untuk mencoba menjalin hubungan jarak jauh. Karena jarak, dia banyak sekali memanfaatkan celah dan bertemu dengan orang-orang yang peduli dengan keadaanku. Kami semua perlu memastikan dialah lelaki yang diakuinya. Semua ini terjadi karena kami memilih untuk keluar dari segala sesuatu yang sudah biasa dan menjadi tradisi, untuk mempercayai Tuhan, dan mengambil risiko untuk mengenal lebih jauh perihal kencan online.

Kita mencintai bukan dengan menemukan orang yang sempurna, tetapi melihat ketidaksempurnaan dengan sempurna.
— Sam Keen






No comments:

Post a Comment

감사합니다