Monday, July 30, 2018

261 ㅡ ♕ Adakah seseorang yang setidaknya menempatkan kebahagiaanku di atas kebahagiaannya?

AHN YOUNGYI ☓ HAN JINHEE
I just want to say, I have loved seriously. 
Written by Vanny | 1,081 words

It's so torturing to control myself as I'm about to breakdown, 
this is my own fault,
that past is a wound that can never be healed,
but, will you save me?


Selamat malam. Namaku Han Jinhee, dan ini adalah kisahku. Sebuah kisah yang kusampaikan dari hati. Jadi, biarkan kedua matamu membaca kisah ini dengan hati. Mari bicara dari hati ke hati.


Suatu hari aku bermimpi. Mimpi itu begitu nyata. Aku tidak berkedip, dan cahaya yang berpendar dari dalam diriku juga tak redup. Kedua sudut bibirku terangkat hingga membentuk seulas senyuman cerah. Hari itu, aku bahagia.

Aku tidak sedang melakukan apa yang orang lain ingin aku kerjakan. Aku sudah menjadi diriku sendiri dengan memilih jalan yang kuyakini bisa membuatku bahagia. Aku tidak berada di dalam sangkar emas, melainkan aku sudah berani terbang menembus awan. Aku tidak lagi mencari jati diriku, tetapi aku sudah membangun hidupku sendiri.

Namun, meskipun aku sudah nyaris memiliki segalanya, rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dari dalam diriku. Atau, sebenarnya sesuatu itu belum kutemukan. Aku tidak mengerti apa itu mencintai dan dicintai. Sejak terakhir kali aku menerbangkan balon yang berisikan harapanku akan sebuah kisah yang kuharapkan bisa menjadi sesuatu yang berharga dalam kisah hidupku, aku tidak berani mulai mengenal siapapun. Aku sempat menutup diri karena aku sadar bahwa hatiku rapuh dan aku pun lemah. Lemah dalam hal menahan diri untuk tidak memberikan hatiku ketika aku sudah merasa nyaman. Oleh karena itu, aku tidak ingin menjadi bodoh dan membiarkan sang penerima hati meruntuhkan pertahananku.

Seringkali aku bertanya kepada diriku sendiri. Apakah aku tidak pantas dicintai? Apakah ketulusanku tidak pernah sampai kepada siapapun yang kuberikan hati? Dan seringkali aku terdiam, merenung memikirkan kenyataan bahwa aku selalu memberikan segalanya kepada orang lain hingga berakhir tak memiliki apapun yang tersisa untuk kebahagiaanku sendiri. Aku mencoba untuk selalu tulus dalam segala hal, dan kulakukan itu bukan untuk mendapatkan balasan, karena memang pada dasarnya, aku melihat kehidupan seperti sedang bercermin. Jika aku memberikan ketulusanku kepada mereka yang ada di sekelilingku, maka aku juga akan mendapatkan kebahagiaan yang sama. Tetapi, terkadang aku mempertanyakan sesuatu. Kapan kebahagiaan itu datang menghampiriku? Aku, yang menempatkan kebahagiaan mereka di sekelilingku lebih dari kebahagiaanku sendiri, hanya ingin diberikan kesempatan untuk sekali saja merasakan hal yang sama. Adakah di luar sana seseorang yang setidaknya menempatkan kebahagiaanku di atas kebahagiaannya?

Tidak perlu berpikir lama, aku menggeleng pelan. Entahlah, mungkin aku hanya bisa bermimpi karena mana mampu aku memperkirakan sesuatu untuk datang sesuai seperti apa yang kuinginkan. Aku tidak sempurna, tetapi aku selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi mereka yang aku sayangi; bagi mereka yang ada di sekelilingku. Aku memang jauh dari kata sempurna karena aku hanyalah seorang perempuan biasa yang tidak memiliki apapun selain ketulusan hati. 

Aku pernah mencintai. Bahkan, aku sering mencintai. Mencintai mereka yang senang melemparkan lelucon hingga aku tertawa. Ya, aku memang mudah tertawa karena kau tahu, hidup ini akan menjadi semakin indah, jika kau tertawa bersama dengan mereka yang sedang gembira. Tetapi, sering ikut tertawa bukan berarti aku tidak pula banyak menitikkan air mata. Aku juga mencintai mereka yang mencariku saat mereka bersedih, dan mulai menceritakan kisah pedih mereka yang membuatku ikut menitikkan air mata. Tidak apa, jika di kala bahagia mereka tidak kembali, karena aku sudah cukup senang; karena aku bahagia mengenal hatiku, bahwa aku senang ketika mereka membutuhkanku sebagai tempat untuk menenangkan hati. Aku pun mencintai mereka yang tersenyum kepadaku, karena kau tahu, dengan tersenyum, kau bisa mulai mengenal orang lain, dan aku memang tidak pandai bicara, aku tidak seperti mereka yang bisa membuka pembicaraan kapanpun dan dimanapun, tetapi aku dapat mengatakan dengan penuh kepercayaan diri bahwa aku pandai tersenyum. 

Aku pernah mencintai hingga rasanya kedua bibirku tidak dapat berhenti tersenyum. Aku pernah mencintai dengan tulus. Namun, ketulusanku tak sampai ke destinasi yang tepat. Pada akhirnya, garis finish tidak berujung bahagia, melainkan patahnya hati menjadi keluh yang kutangisi setiap malam kala semua orang terlelap. Sejak saat itu, aku menutup pintu rapat-rapat, dan berharap tak ada satu orang pun yang datang. Aku tidak berani mengenal, mana mampu aku berteman. Ada ketakutan tersendiri yang tidak dapat aku katakan pada siapapun. Ada keresahan tersendiri yang tidak dapat aku jelaskan, bahkan kepada diriku sendiri rasanya tak mampu aku merangkai kata untuk membuat diri mengerti. Ada keberanian yang tak pernah aku tunjukkan, dan hanya kupendam dalam diri. Aku mencoba untuk pulih seorang diri. Aku tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan kekhawatiran yang sejak saat itu mengisi relung hatiku.

Lalu, suatu hari, seseorang mengetuk pintu, dan tanpa membuat keputusan terlebih dahulu, pintu itu terbuka dengan sendirinya. Ketika aku mengatakan bahwa aku tidak mengerti apa yang harus dan tidak harus kulakukan; apa yang boleh dan tidak boleh kulakukan, semua itu benar adanya. Tidak ada kebohongan kuberikan karena kau tahu, rasanya aku memang tidak paham apa yang sebenarnya harus kulakukan sebab sebelumnya pun aku hanya bergantung pada sebuah perasaan yang kubawa seorang diri hingga ke garis finish. Aku takut, aku resah, aku memang bodoh. Aku bukan seseorang yang mengerti betul apa arti dari kata cinta, karena definisi dari kata itu sendiri hanya kubuat dari pengalamanku, dan perjalanan yang selama ini kulakukan belum memberikanku penjelasan yang berarti akan makna dari kata tersebut. 

Malam itu, aku duduk berhadapan dengannya, dan kutatap kedua bola matanya dengan saksama. Aku memperlihatkan senyuman terbaikku, dan berkata, "Aku telah membukakan pintu untukmu walaupun aku tidak tahu apakah kamu memang ingin bertamu atau tidak. Ah, mungkin kamu hanya ingin bertamu, dan tidak berniat meninggalkan jejak ... entahlah, aku tidak mengerti apa yang harus aku lakukan karena untuk beberapa saat, aku mulai mempertanyakan banyak hal. Aku pernah mencintai, tetapi rasanya selalu sama karena pada akhirnya, aku tahu, aku yang akan menyerah. Jangan buat aku menyerah, boleh? Aku resah, aku cemas, dan aku khawatir. Aku mengenal hatiku, tetapi tidak hatimu. Jika kamu tidak ingin memberikan tempat di hatimu untuk aku singgahi, lebih baik tidak kamu biarkan aku berpikir aku memiliki kesempatan untuk bahagia barang sedetik saja. Atau, hanya aku yang berpikir demikian? Aku tidak paham, tetapi bisa jadi. Aku bukan perempuan yang sempurna, dan aku bukan perempuan yang kuat. Aku mencoba membuka pintu ketika kamu ingin masuk, dan kuberikan senyuman terbaik yang bisa kuberikan untukmu. Aku berusaha menjadikanmu satu-satunya, tetapi aku tidak paham, apakah benar kamu juga melakukan hal yang sama? Sejak merasakan patah untuk pertama kalinya, aku berusaha keras untuk tidak rapuh lagi; tidak mudah jatuh, tetapi harus kukatakan, aku memang jatuh dengan hati yang serupa, tetapi tak sama. Apakah kamu bersedia mengulurkan tangan?"


No comments:

Post a Comment

감사합니다